Satgas Penanganan Covid-19 menyebut ada 16 provinsi yang mampu mencapai jumlah tes polymerase chain reaction (PCR) sesuai standar WHO. Adapun standar tes yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia itu mencapai 1.000 per 1 juta penduduk per pekan.
Dari 16 provinsi tersebut, ada tiga provinsi yang mampu mencapai target WHO dalam lima pekan berturut-turut, yaitu DKI Jakarta, Kalimantan Timur, dan Papua. Sedangkan 13 provinsi lainnya pernah mencapai angka tes WHO minimal dalam satu pekan, seperti Riau, Papua Barat, Sumatera Barat, Sulawesi Utara, dan Yogyakarta.
Kemudian, Bali, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Banten, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, Gorontalo, dan Sulawesi Barat. Sedangkan 18 provinsi lainnya belum pernah mencapai target WHO.
Ketua Bidang Data dan Teknologi Informasi Satgas Covid-19, dr.Dewi Nur Aisyah, mengatakan pencapaian tiap provinsi berbeda-beda karena jumlah penduduknya pun berbeda. Misalnya DKI Jakarta yang hanya memiliki 10 juta penduduk, sehingga jumlah tes yang harus dilaksanakan hanya mencapai 10.000.
Dengan jumlah penduduk yang berbeda, upaya pelacakan di tiap provinsi pun tak sama. “Tracing di lapangan juga ada yang effort-nya bisa empat kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang jumlah targetnya hanya 5.000 atau 10.000 saja,” ujar Dewi dalam acara "Covid-19 Dalam Angka: Update Testing Di Indonesia", Rabu (2/12).
Secara nasional, jumlah tes di Indonesia hanya sebesar 90,64% dari target tes sebanyak 267 ribu per pekan. Hal itu dihitung berdasarkan jumlah penduduk Indoensia yang mencapai 267 juta jiwa.
Dewi menyebut ada lima tantangan besar dalam pemerataan jumlah testing di seluruh provinsi. Seperti jumlah laboratorium dan sumber daya manusia yang terbatas yang tak sebanding dengan jumlah penduduk. “Ini merupakan tantangan untuk negara yang besar,” ujar Dewi.
Dewi menjelaskan bahwa banyak laboran yang sebenarnya sudah bekerja di laboratorium, tetapi belum pernah menguji virus corona. Satgas pun menyediakan pelatihan untuk laboran agar memiliki keterampilan yang mumpuni dalam memeriksa penyakit infeksi seperti Covid-19.
Meski begitu, pelatihan untuk laboran tidaklah mudah, karena virus infeksi membutuhkan precaution yang lebih tinggi. Selain itu, pelatihan perlu dilaksanakan mulai dari hulu hingga hilir seperti pengambilan sampel, pemindahan sampel (transportasi), penyimpanan, hingga pemeriksaan.
“Saya juga menemukan sample di laboratorium sudah dalam keadaan kering, dalam kondisinya rusak. Artinya pengambilannya atau transportasinya bermasalah. Penyimpananannya harus dalam suhu yang seperti apa, ini juga akan berpengaruh,” kata dia.
Selain itu, ada kendala operasional laboratorium. Itu lantaran tidak semua laboratorium milik pemerintah yang bisa bekerja 24 jam.
Ada pula laboratorium swasta yang jam operasional terbatas. Dengan kondisi itu, Dewi meminta pemerintah daerah memberikan insentif bagi tenaga kerja laboratorium yang bertugas di luar jam kerja.
Di sisi lain, jumlah pelacakan yang masih terbatas membuat jumlah sample yang harus dites sedikit. Ditambah dengan peralatan yang berbeda di setiap laboratorium.
Menurut Dewi, ada laboratorium yang menggunakan closed system, yakni harus satu merek antara alat dan reagen. Ada pula laboratorium yang menggunakan open system, yakni beragam merek untuk memeriksa spesimen.
Dengan kondisi tersebut, Dewi menyebut peran pemerintah daerah menjadi sangat vital terutama dalam jumlah tes dan pelacakan. Selain itu, pemerintah daerah juga harus melibatkan laboratorium swasta dan mengatur jam operasionalnya agar jumlah tes terus meningkat.
(Penyumbang Bahan: Ivan Jonathan Irawan)
Masyarakat dapat mencegah penyebaran virus corona dengan menerapkan 3M, yaitu: memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak sekaligus menjauhi kerumunan. Klik di sini untuk info selengkapnya.
#satgascovid19 #ingatpesanibu #pakaimasker #jagajarak #cucitangan