Presiden Joko Widodo menunjuk Budi Gunadi Sadikin untuk menggantikan posisi Terawan Agus Putranto sebagai Menteri Kesehatan. Selain rekan jejak yang panjang sebagai bankir, Budi sempat membuat kebijakan mengesankan Jokowi ketika membeli saham divestasi PT Freeport Indonesia tahun 2018 silam.
Saat ini, Budi menjabat Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sejak Juli lalu, dia juga memangku jabatan Ketua Satgas Pemulihan Ekonomi Nasional.
Sebelum menjadi birokrat, Budi adalah seorang bankir profesional. Ketika diangkat menjadi Wakil Menteri BUMN bersama Kartika Wirjoatmodjo pada Oktober 2019, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan, reputasi Budi sebagai bankir diharapkan dapat memperbaiki kinerja BUMN.
"Jadi ada dua wakil menteri di BUMN dan keduanya berasal dari Bank Mandiri, banker. Saya harapkan ada lompatan besar baik dalam evaluasi aset-aset yang ada, untuk mencari partner-partner yang baik sehingga BUMN kita benar-benar jadi perusahaan yang punya reputasi yang baik di dunia," kata Jokowi pada Oktober 2019 lalu.
Sebelum masuk kabinet, pada tahun 2017, Budi menjabat Direktur Utama PT Inalum, yang merupakan induk usaha baru BUMN sektor pertambangan.
Selain menakhodai holding baru tersebut, Budi mendapat tugas berat yaitu mewujudkan rencana pemerintah menguasai saham Freeport. Caranya melalui pembelian 51 persen saham yang didivestasikan perusahaan tambang raksasa asal Amerika Serikat tersebut.
Ini tugas berat karena proses negosiasi selalu berjalan alot selama bertahun-tahun. Freeport McMorran enggan melepas mayoritas saham tambang mineral di Papua itu, dan belakangan memasang harga tinggi.
Melalui proses negosiasi yang panjang, pemerintah akhirnya dapat membeli 51,2% saham PT Freeport senilai US$ 3,85 miliar atau setara Rp 55,44 triliun. Aksi akuisisi itu dibiayai melalui penerbitan obligasi valas di luar negeri.
Alhasil, pada Desember 2018, pemerintah Indonesia melalui Inalum berhasil menguasai mayoritas saham Freeport Indonesia dan memenuhi janji kampanye Jokowi saat Pilpres 2014 silam. Sumber Katadata.co.id membisikkan, peran Budi di balik akuisisi saham Freeport berikut pembiayaannya itu sangat mengesankan di mata Jokowi.
Budi Gunadi Sadikin lahir pada 8 Juli 1964, usianya kini 56 tahun. Meski kerap disebut sebagai bankir senior, ia ternyata memiliki latar belakang pendidikan Sarjana Fisika Nuklir lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB).
Perjalanan kariernya di mulai tahun 1988 dengan menjadi Staff Teknologi Informasi IBM Asia Pasifik, Tokyo, Jepang. Setelah itu, Budi dipindah ke IBM Indonesia dengan jabatan terakhir sebagai System Integration & Professional Services Manager.
Ia kemudian pindah ke Bank Bali dengan beberapa jabatan sebagai General Manager Electronic Banking wilayah Jakarta dan Chief General Manager Human Resources hingga 1999.
Dari Bank Bali, ia bergabung dengan ABN Amro Bank Indonesia hingga menjabat sebagai Direktur Consumer dan Commercial Banking untuk ABN Amro Bank Indonesia & Malaysia pada 2004.
Setelah itu, Budi bergabung dengan Bank Danamon dan menjabat sebagai Executive Vice President Consumer Banking dan Direktur di Adira Quantum Multi Finance.
Pada tahun 2006, Budi mulai merapat ke Bank Mandiri (Persero) Tbk sebagai Direktur Micro & Retail Banking. Pada tahun 2013, ia diangkat menjadi Direktur Utama Bank Mandiri hingga 21 Maret 2016.
Setelah itu, masih pada 2016, ia merapat ke pemerintah sebagai Staf Khusus Menteri BUMN. Ia juga aktif menjadi Anggota Dewan Penasehat Asosiasi Fintech Indonesia.
Pada 2017, Budi Sadikin diangkat menjadi Komisaris Utama PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum. Ia juga sempat menjadi Direktur Utama sejak 14 September 2017 dan mempersiapkannya sebagai induk Holding BUMN Tambang.
Kritik Anggaran Kesehatan
Saat pandemi melanda, Presiden Jokowi menunjuk Budi Gunadi Sadikin pun ditunjuk sebagai Ketua Satuan Tugas Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Dalam perannya itu, ia sempat menjelaskan mengapa alokasi anggaran bidang kesehatan lebih kecil dibandingkan bidang ekonomi dalam program Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN).
Menurutnya, hal ini terjadi karena permintaan anggaran PC-PEN pada bidang kesehatan sedikit. "Minta (anggarannya) sedikit. Coba minta yang banyak? Dikasih," kata Budi dalam diskusi Health Outlook 2021, Jumat (18/12) lalu.
Simak Databoks berikut:
Ia pun mengatakan, semestinya pihak dari sektor kesehatan berada di garis terdepan dalam menyusun respons kebijakan saat pandemi. Permasalahannya, lanjut Budi, pihak dari sektor kesehatan tidak terbiasa untuk maju dalam penyusunan kebijakan. "Yang terbiasa maju orang ekonomi. Dia langsung maju ke depan, solusinya begini," ujar dia.
Budi menilai, pihak yang ahli bidang ekonomi telah terbiasa menghadapi krisis ekonomi berskala global, yaitu pada 1998, 2008, dan 2013. Oleh sebab itu, para pejabat juga telah terbiasa menyusun respons kebijakan saat terjadi krisis ekonomi.
Namun, krisis pandemi ini berbeda dengan krisis ekonomi global sebelumnya. Sebab, krisis tidak akan berakhir bila permasalahan kesehatan belum dituntaskan. "Berapa ratus triliun uang kami gelontorkan, selama masalah kesehatan tidak beres, (krisis) tidak akan beres," katanya.
Sebagaimana diketahui, total anggaran PC-PEN pada tahun ini mencapai Rp 695,2 triliun. Dari jumlah itu, alokasi anggaran kesehatan sebesar Rp 96,17 triliun atau 13,8% dari total anggaran PC-PEN.
Selebihnya, anggaran tersebut dialokasikan untuk bidang PEN, yaitu insentif usaha sebesar Rp 120,61 triliun, perlindungan sosial Rp 230,66 triliun, sektoral kementerian/lembaga dan pemda Rp 70,70 triliun, UMKM Rp 115,82 triliun, dan pembiayaan korporasi Rp 61,22 triliun.