PBNU Dukung Pelarangan FPI: Untuk Melindungi Masyarakat Luas

ANTARA FOTO/Irsan Mulyadi/Lmo/aww.
Warga melintas di depan karangan bunga dukungan atas pembubaran organisasi Front Pembela Islam (FPI) di dekat kawasan gedung DPRD Medan, Sumatera Utara, Kamis (31/12/2020). Puluhan karangan bunga dari berbagai elemen masyarakat di kota tersebut berisi dukungan kepada pemerintah yang telah membubarkan FPI.
Penulis: Happy Fajrian
1/1/2021, 10.02 WIB

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) merespons keputusan pemerintah untuk melarang segala aktivitas Front Pembela Islam atau FPI. Wakil Sekretaris Jenderal PBNU Masduki Baidlowi menilai keputusan tersebut demi melindungi masyarakat yang lebih luas.

Terlebih lagi, FPI sudah tidak memiliki Surat Keterangan Terdaftar (SKT), sehingga legalitasnya sudah tidak ada. “Jadi pelarangan itu hanya penegasan saja, karena sesungguhnya FPI sudah bubar dengan tidak adanya legal standing berupa SKT,” ujar Masduki di Jakarta, Jumat (1/1).

Menurut dia, FPI selama ini kerap membuat kegaduhan. Hal ini membuat kelompok masyarakat lain yang lebih besar menjerit. Oleh karena itu, tambah Masduki, pemerintah telah bertindak tegas untuk melindungi masyarakat yang lebih besar tersebut.

Sebelumnya dia sempat mengira kegaduhan yang membelah masyarakat Indonesia ke dalam dua kubu, terutama di media sosial (medsos) hanya terjadi menjelang dan saat pemilihan presiden 2014 dan 2019.

“Tapi ternyata keterbelahan itu berlangsung sampai sekarang. Akhirnya pemerintah bertindal tegas. Itu sudah tepat,” ujar Masduki yang juga juru bicara Wakil Presiden Ma’ruf Amin.

Menurutnya kebbasan tidak bisa dieksploitasi sedemikian rupa karena bersinggunggan dengan kebebasan pihak lain. Hal ini pun berlaku bagi semua, tidak hanya bagi FPI.

Sementara itu ketua PBNU Marsudi Syuhud menilai pemerintah melarang segala kegiatan FPI karena masalah kedudukan hukum atau legal standing-nya.

Ia pun mencontohkan beberapa organisasi sosial keagamaan yang tetap berdiri di indonesia hingga kini, di antaranya NU, Muhammadiyah, Matlaul Anwar, Al Irsyad, dan Persis. “Organisasi-organisasi ini mengikuti peraturan dengan memenuhi perysaratan hukum dari pemerintah,” kata Marsudi.

PENUTUPAN MARKAS FPI (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/nz)



Koalisi LSM Pertanyakan Pembubaran FPI

Sementara itu berbagai koalisi lembaga swadaya masyarakat (LSM) mengkritisi langkah pemerintah membubarkan FPI melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) yang ditandatangani enam pimpinan tinggi lembaga negara.

Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari sejumlah LSM menyatakan bahwa SKB tentang larangan kegiatan, penggunaan simbol dan atribut, serta penghentian kegiatan FPI bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum, khususnya terkait kebebasan berkumpul dan berserikat.

“SKB tersebut salah satunya didasarkan pada UU Ormas yang secara konseptual juga sangat bermasalah dari perspektif negara hukum. UU Ormas memungkinkan pemerintah membubarkan organisasi secara sepihak tanpa melalui proses peradilan,” tulis pernyataan Koalisi Masyarakat Sipil yang diterima Katadata.co.id.

Menurut koalisi LSM tersebut, berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi No. 82/PUU-XI/2013, negara tidak dapat memaksakan suatu organisasi untuk mendaftarkan diri dan memiliki SKT.

Dalam bagian pertimbangan putusan tersebut MK menyatakan yang pada intinya berdasarkan prinsip kebebasan berkumpul dan berserikat, ormas yang tidak mendaftarkan diri tidak bisa mendapatkan pelayanan dari pemerintah, tapi pemerintah tidak dapat menetapkan ormas tersebut sebagai terlarang.

Selain itu negara atau pemerintah juga tidak dapat melarang kegiatan ormas tersebut sepanjang tidak mengganggu keamanan, ketertiban umum atau melanggar hukum.

Adapun Koalisi Masyarakat Sipil terdiri dari beberapa LSM seperti KONTRAS (Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan), Institut Perempuan, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), LBH Pers, Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), SAFENET (Southeast Asia Freedom of Expression Network), YLBHI, dan YPII

Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB) juga mengkritisi keputusan pemerintah melarang seluruh kegiatan dan atribut FPI dengan dasar yang sama, yakni keputusan MK No.82.

“KKB berpandangan bahwa SKB ini merupakan kebijakan yang seharusnya tidak menempatkan status tidak terdaftar sebagai latar belakang atau pertimbangan,” tulis pernyataan tertulis yang diterima Katadata.co.id.

Menurut KKB, status terdaftar dari suatu ormas tidak berarti ormas dimaksud secara otomatis memiliki legal standing atau sebaliknya ketika tidak terdaftar maka kehilangan legal standing. Karena status terdaftar dan memiliki SKT tidak lebih dari fakta dan identitas administrasi guna kepentingan pendataan, pembinaan, dan pengawasan ormas secara proporsional.

“Dengan kata lain, status terdaftar atau tidak terdaftar, tidak menjadi dasar, termasuk anggapan pengakuat ‘de jure’ terhadap suatu ormas,” tulis KKB.

Reporter: Antara