Transparansi Internasional Indonesia (TII) menyebutkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun lalu turun. Pemerintah akan menjadikan hasil studi tersebut sebagai bahan evaluasi kebijakan.
Berdasarkan laporan TII, IPK 2020 memiliki skor 37 poin, turun dari 2019 sebesar 40 poin. Adapun skor 0 berarti sangat korupsi, sedangkan 100 sangat bersih.
"Skor ini turun 3 poin dari 2019 lalu yang berada pada skor 40/100. Di mana pada tahun 2019 adalah pencapaian tertinggi dalam perolehan skor IPK Indonesia sepanjang 25 tahun terakhir," kata Peneliti TII Wawan Suyatmiko seperti dikutip dari keterangan pers, Kamis (28/1).
Di Asia Tenggara, Indonesia berada di bawah Singapura (85 poin), Brunei Darusalam (60 Poin), Malaysia (51 Poin), dan Timor Leste (40 poin).
Dari sejumlah indikator penyusun IPK Indonesia, terdapat lima sumber data yang merosot dibanding temuan tahun lalu. Global Insight tercatat merosot hingga 12 poin menjadi 35 poin; PRS merosot 8 poin menjadi 50 poin; serta IMD World Competitiveness Yearbook turun 5 poin menjadi 43 poin.
Kemudian, PERC Asia turun sebesar 3 poin menjadi 32 poin dan Varieties of Democracy yang juga turun 2 poin menjadi 26 poin. Sementara itu, tiga dari sembilan indeks mengalami stagnasi, yakni World Economic Forum EOS sebesar 46 poin; Bertelsmann Transformation Index dan Economist Intelligence Unit sebesar 37 poin.
Sedangkan satu indikator mengalami kenaikan sebanyak dua poin yakni World Justice Project – Rule of Law Index menjadi 23 poin. Meski mengalami kenaikan, indikator tersebut tidak mempengaruhi kontribusi penurunan IPK 2020 ini. Sebab dalam lima tahun terakhir WJP-ROL Index selalu di bawah rerata skor IPK tahunan.
Sekretaris Jenderal TII Danang Widoyoko mengatakan, turunnya skor IPK Indonesia menunjukkan kebijakan yang bertumpu pada kacamata ekonomi dan investasi tanpa mengindahkan faktor integritas akan memicu korupsi. Demikian pula dalam hal penanganan pandemi Covid-19.
"Penurunan terbesar yang dikontribusikan oleh Global Insight dan PRS dipicu oleh relasi korupsi yang lazim dilakukan oleh pebisnis kepada pemberi layanan publik," ujar dia.
Selain TII, survei LSI juga menyebut 45,6% masyarakat menilai korupsi meningkat. Simak Databoks berikut:
Pemerintah Akan Evaluasi Kebijakan untuk Memperbaiki Indeks Persepsi Korupsi
Menanggapi indeks tersebut, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan, komitmen pemerintah dalam pemberantasan korupsi tidak akan berkurang. Komitmen itu ditunjukkan dengan membangun sistem pencegahan bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Sistem pencegahan korupsi dari hulu ke hilir bernama Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) bisa membentuk sistem yang menutup celah korupsi,” ujar Moeldoko di Jakarta, seperti dikutip dari keterangan pers pada Kamis (28/1).
Komitmen itu juga ditunjukan melalui arahan Presiden saat rapat terbatas. Presiden berulangkali meminta agar tidak ada sekali pun korupsi dana bantuan sosial (bansos) dan pemotongan hak rakyat. "Jangan korupsi dana kesehatan, jangan memburu rente pengadaan barang jasa,” ujar Moeldoko.
Rapat Koordinasi (Rakor) Stranas PK sebelumnya telah menetapkan rencana aksi 2021-2022 dengan fokus pada sektor terdampak. Di antaranya ialah pengawalan ketepatan subsidi dan bansos, pencegahan pungli dalam layanan dasar, pencegahan rente dalam ekspor impor komoditas strategis.
Ada juga akuntabilitas pengadaan barang jasa, percepatan layanan perizinan, penyederhanaan birokrasi dan digitalisasi pemerintahan, serta peningkatan integritas aparat penegak hukum.
Deputi V KSP Jaleswari Pramodhawardani mengatakan, KSP memperhatikan masukan, riset, dan kajian seperti Global Corruption Barometer dan Indeks Persepsi Korupsi pada perumusan strategi perbaikan aksi Stranas PK 2021-2022.
Menurutnya, pelaksanaan aksi Stranas PK 2021-2022 akan diikuti dengan peningkatan sinergi dan kolaborasi. "Tidak hanya di instansi pemerintah tetapi juga swasta, dan masyarakat sipil seperti CSO, akademisi, dan media massa," ujar dia.