Pemerintah Luncurkan Sertifikat Tanah Elektronik, Seberapa Aman?
- Pemerintah akan menerbitkan sertifikat elektronik sebagai bukti kepemilikan tanah.
- Sistem pencatatan elektronik diharapkan dapat meminimalisir terjadinya sengketa tanah.
- Sertifikat fisik tidak akan ditarik.
Pemerintah mengeluarkan kebijakan baru mengenai sertifikat tanah elektronik. Dengan demikian, nantinya sertifikat tanah tidak akan berbentuk kertas, namun berupa sertifikat elektronik yang datanya tercatat dalam sistem pertanahan.
Ketentuan ini tercantum dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nomor 1 Tahun 2021 tentang Sertifikat Elektronik. Kebijakan itu berlaku mulai 12 Januari 2021.
Perubahan sertifikat kertas menjadi elektronik diharapkan bisa mengatasi masalah sengketa tanah yang terjadi akibat tumpang tindih. Seperti yang berbentuk fisik, sertifikat elektronik pun dapat menjamin pemilik tanah yang sah.
Lalu, seperti apa keamanan sertifikat tanah elektronik?
Pakar Agraria dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Nur Hasan Ismail mengatakan, sebetulnya sertifikat elektronik dapat dicetak dengan kertas. Perbedaannya, sertifikat elektronik dapat diproses dengan sistem elektronik dan disahkan dengan pembubuhan tanda tangan elektronik.
"Jika semua faktor sebagaimana disebut di atas dipenuhi, maka pasti memberikan jaminan (keamanan)," kata Nur Hasan saat dihubungi Katadata, Selasa (9/2).
Meski begitu, ia menilai perubahan tersebut belum tentu berdampak pada penurunan sengketa tanah. Pencegahan sengketa tanah akan pada banyak faktor, terutama ketepatan dan kebenaran proses pengumpulan data, verifikasi data, serta validitas data fisik dan yuridis.
Ia pun menilai, ada sejumlah hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah. Pertama, pemerintah perlu menjamin proses alih media, terutama data fisik yuridis tanah yang ada dalam dokumen manual ke dokumen elektronik. Hal ini untuk memastikan validitas data dan kepastian hukum.
Kemudian, sumber daya manusia yang diberi tugas harus profesional, mandiri, dan bebas dari pengaruh kepentingan apapun. Selain itu, keamanan data fisik dan yuridis serta dokumen elektronik yang tersimpan di pangkalan data harus terjamin dari kemungkinan terjadinya pembobolan data.
Selanjutnya, penerbitan sertifikat elektronik oleh petugas atau pemilik harus dibatasi. "Ini untuk menjamin kesakralan sertifikat sebagai alat bukti," ujar dia.
Pemerintah pun diminta untuk melakukan edukasi kepada masyarakat, terutama masyarakat di daerah pelaksanaan sertifikat elektronik. Edukasi itu harus mencakup pemahaman mengenai manfaat dan bahaya sertifikat elektronik.
Berikut adalah Databoks kepemilikan sertifikat tanah pada rumah tangga di Indonesia:
Sementara, mantan Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah mengapresiasi langkah perubahan setifikat kertas menjadi elektronik. Namun, ia mengingatkan peristiwa korupsi KTP elektronik.
"Belajar dari peristiwa kasus KTP Elektronik, baik dari aspek korupsi, pihak yang bisa akses data, kesiapan peralatan, kapasitas dan integritas pegawai hingga validitas jauh lebih penting," kata Febri dalam cuitannya, pekan lalu (4/2).
Berkaca dari perkara korupsi kebijakan beranggaran besar, asesmen risiko korupsi perlu ditempatkan sebagai hal utama. Hal ini untuk mencegah korupsi kembali terjadi.
Ia pun memastikan, kebijakan yang memberikan efek besar kepada publik memerlukan mitigasi risiko korupsi sejak awal. Terlebih, Presiden Joko Widodo dianggap kerap mengunjungi daerah untuk mendorong proses penerbitan sertifikat tanah.
"Proyek e-KTP cukuplah menjadi pembelajaran," ujar dia.
Sebagaimana diketahui, Jokowi memang beberapa kali berkunjung ke daerah untuk membagikan sertifikat tanah. Mantan Walikota Solo itu menargetkan sebanyak 126 juta bidang tanah di seluruh Indonesia harus bersertifikat pada 2025. Jokowi mengatakan program sertifikasi merupakan langkah panjang yang dimulai sejak 2015.
Seluruh jajaran Kementerian ATR di pusat dan daerah bekerja keras sehingga penerbitan sertifikat dapat meningkat. Pada 2016, sertifikat yang diserahkan mencapai 1,1 juta bidang. Kemudian, jumlah penerbitan sertifikat tanah meningkat pada 2017 menjadi 5,4 juta bidang.
Selanjutnya pada 2018, penyerahan sertifikat mencapai 9,3 juta bidang. Tahun berikutnya, penyerahan serifikat tanah sebanyak 11,2 juta bidang, melebihi target dari Jokowi sebanyak 9 juta bidang.
Untuk 2020, target penyerahan sertifikat tanah semula ditetapkan 10 juta bidang. Namun, Jokowi melonggarkan target tersebut menjadi 7 juta bidang lantaran terdampak pandemi Covid-19.
Janji Pemerintah
Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Sofyan Djalil memastian, tidak ada kasus e-KTP untuk yang kedua kali. "Keledai pun tidak mau masuk dalam lubang yang sama," ujar dia dalam acara Liputan 6, Senin (8/2).
Oleh karena itu, BPN telah menyediakan sistem IT dan data tanah secara mandiri.
Ke depan, Kementerian ATR/BPN akan membuka lelang dengan sistem Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). KPBU tersebut dipastikan akan melalui proses lelang yang terbuka dan transparan.
Ia pun memastikan, data elektronik soal kepemilikan tanah itu akan dijamin keamanannya. BPN akan mengikuti standar Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) serta Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).
BPN juga akan mengikuti standar ISO untuk memastikan keselamatan standar pada bidang informasi teknologi. "Jadi dari segi keamanan dan realibility, jauh lebih aman dengan proteksi berlapis-lapis," ujar dia.
Dengan pencatatan digital yang lebih transparan, sertifikat tanah elektronik akan mencegah terjadinya sengketa tanah. Nantinya, sertifikat tanah berbentuk kertas yang telah terdigitalisasi akan diberikan stempel untuk memastikan keasliannya.
Hanya, sertifikat kertas tersebut sudah tidak berlaku lagi lantaran sudah ada sertifikat dalam bentuk elektronik. BPN pun akan menyimpan sertifikat tanah tersebut dalam bentuk elektronik.
"Kalau masyarakat mau pegang (sertifikat kertas), pegang saja. Namun kami gunting ujungnya karena tidak bermanfaat lagi. Tapi keasliannya bisa dilihat dengan sertifikat elektronik," ujarnya.