- Pengusaha dan buruh sama-sama menyoroti ketentuan pesangon dibayar separuh
- Pengusaha menganggap ketentuan ini jalan tengah dari beratnya pesangon yang kerap dibayar
- Serikat pekerja mengkaji judicial review aturan ini ke MK
Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Regulasi tersebut merupakan aturan turunan dari Undang-Undang Nomor 11 tentang Cipta Kerja.
Melalui aturan tersebut, pesangon untuk korban PHK hanya setengah dari aturan bila terbentur sejumlah kondisi. Salah satunya, pesangon separuh dari ketentuan bila perusahaan tutup dan merugi.
"Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh karena alasan perusahaan melakukan efisiensi yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian maka pekerja/ buruh berhak atas: a. uang pesangon sebesar 0,5 (nol koma lima) kali ketentuan Pasal 40 ayat (2)," demikian tertulis dalam Pasal 43 aturan tersebut seperti dikutip Rabu (24/2).
Adapun, Pasal 40 Ayat 2 menetapkan ketentuan uang pesangon bergantung dari masa kerja. Pekerja/buruh dengan masa kerja kurang dari 1 tahun mendapatkan 1 bulan upah.
Sementara, pekerja dengan masa kerja 1 tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 tahun mendapatkan 2 kali upah. Jumlah upah tersebut bertambah 1 bulan setiap masa kerja lebih lama 1 tahun. Adapun, batas maksimumnya ialah masa kerja 8 tahun atau lebih memperoleh 9 bulan upah.
Selanjutnya, ketentuan pesangon setengah dari Pasal 40 ayat (2) berlaku bagi pekerja/buruh yang terkena PHK karena pengambilalihan perusahaan yang mengakibatkan terjadinya perubahan syarat kerja. Kondisi ini terjadi bila pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja karena perubahan syarat kerja tersebut.
Ketentuan yang sama juga berlaku bagi korban PHK karena perusahaan tutup yang disebabkan kerugian secara terus menerus selama 2 tahun atau kerugian tidak secara terus menerus selama 2 tahun, PHK karena perusahaan tutup yang disebabkan keadaan memaksa (force majeur), karena perusahaan dalam penundaan pembayaran utang yang disebabkan perusahaan merugi, dan karena perusaahaan pailit.
Kemudian, pesangon dengan besaran setengah dari Pasal 40 ayat (2) berlaku bagi korban PHK karena pekerja/buruh melanggar ketentuan perjanjian kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga.
Selain itu, uang pesangon dipangkas 0,25% untuk alasan PHK keadaan memaksa (force majeure) yang tidak mengakibatkan perusahaan tutup. Dalam hal ini, pekerja/buruh akan mendapatkan uang pesangon sebesar 0,75 kali ketentuan Pasal 40 ayat 2, uang penghargaan dan uang penggantian hak.
Selanjutnya, bagaimana dampak aturan tersebut terhadap pekerja dan pengusaha ?
Sekretaris Jenderal Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) pimpinan Yorrys Raweyai, Bibit Gunawan mengatakan aturan tersebut berpotensi merugikan pekerja. Semestinya, pesangon ditetapkan sebesar 1 kali dari ketentuan, namun, aturan PP 5/2021 justru tidak sesuai dengan norma tersebut.
"Bukannya melindungi, justru membuat pekerja/buruh memburuk dan kemungkinan PHK jadi besar," kata Bibit saat dihubungi Katadata.co.id, Senin (23/2).
Selama pandemi, ada sejumlah perusahaan yang merugi dan terpaksa ditutup. Dengan adanya aturan tersebut, ia menilai pengusaha semakin mudah menutup usahanya.
Oleh karena itu, ia berharap pengusaha dapat mengutamakan dialog dengan pekerja/buruh. Dengan demikian, ada solusi yang bisa memuaskan kedua belah pihak.
Apalagi menurutnya perselisihan hubungan industrial bisa terjadi bila pengusaha mempunyai keinginan yang lebih kuat daripada pekerja/buruh. "Kalau pengusaha mengacu ketentuan ini secara kaku, ya agak susah. Ini kondisi sulit," katanya.
Di sisi lain, KSPSI juga mengkaji kemungkinan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Namun, konfederasi masih mempelajari dampak kerugian yang diderita secara nyata.
Adapun Konfederasi Kongres Aliansi Buruh Indonesia (KASBI) berancang-ancang menolak aturan ini. Namun mereka meminta seluruh pekerja yang ingin protes menyampaikannya dengan cara dialog.
"Karena pandemi, alangkah baiknya penyampaian pendapat dilakukan dengan cara audiensi kepada pihak terkait," kata Ketua Umum KASBI Nining Elitos, Selasa (23/2) dikutip dari Antara.
Komite Tetap Ketenagkerjaan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bob Azam mengakui, pengurangan pesangon secara drastis bisa memicu keributan. Namun, aturan tersebut dinilai sebagai bentuk kompromi agar pemberian pesangon bisa dilaksanakan secara efektif.
Di sisi lain, ketentuan tersebut bisa mengurangi beban investor yang ingin menanamkan dananya di Tanah Air. Sebab, pesangon di Indonesia terbilang cukup tinggi sehingga memberatkan perusahaan.
Sebelum UU Cipta Kerja dan aturan turunannya terbit, kewajiban pesangon sangat memberatkan perusahaan yang mengalami kerugian. Padahal, ada beberapa perusahaan yang terpaksa ditutup atau merumahkan pekerjanya akibat terdampak pandemi Covid-19.
Bob berharap aturan tersebut menjadi jalan tengah untuk meningkatkan efektivitas, meningkatkan hubungan industrial, dan mencegah perselisihan hubungan industrial. "Dengan UU Cipta Kerja, lebih cepat keputusannya dan pelindungan buruh akan lebih baik," ujar dia.
Bob juga mengakui tidak ada jaminan siapapun pekerja tak akan terkena PHK. Namun aturan ini akan mempermudah pengusaha untuk berekspansi dan menyewa karyawan/buruh. "Kalau terkena PHK, ia bisa mendapat pekerjaan baru dengan mudah," katanya.
Selanjutnya, pengusaha akan mengedepankan diskusi secara bipartit antara pengusaha dan pekerja/buruh. Perundingan ini akan menghasilkan Perjanjian Kerja Bersama yang disepakati kedua belah pihak.
Diskusi secara bipartit dinilai efektif untuk melindungi tenaga kerja serta memberikan kepastian hukum. Ia pun berharap, pemerintah, asosiasi pengusaha, dan pekerja dapat melaksanakan bimbingan teknis mengenai pembuatan Perjanjian Kerja Bersama.
Kemudahan Izin Bagi Pengusaha
Sedangkan pemerintah akan terus memudahkan pengusaha untuk berinvestasi. Dari sisi izin usaha, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) akan mengimplementasikan perizinan berbasis risiko secara elektronik melalui sistem Online Single Submission (OSS) pada Juli mendatang.
Seperti Ketentuan mengenai OSS berbasis risiko tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko. Berdasarkan aturan itu, Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) perizinan berusaha berbasis risiko dalam OSS merupakan acuan tunggal bagi pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pelaku usaha.
Sebelum diluncurkan, BKPM akan melakukan proses uji coba pada Maret hingga Juni. Adapun sistem baru ini merupakan amanat Undang-undang Cipta Kerja.
Bahlil mengatakan sistem OSS ini dianggap menjadi solusi untuk pengusaha karena dapat memangkas birokrasi, transparan, cepat, dan mudah. "Ini jawaban keluh kesah pengusaha yang mengatakan mengurus izin lama, ketemu sama pejabat susah, biaya mahal, sudah begitu lambat," ujar Bahlil dalam siaran virtual konferensi pers di kantornya, Jakarta, Selasa (24/2).
Proses perizinan kegiatan berusaha juga akan bergantung berdasarkan risikonya. Secara rinci, izin usaha dengan risiko rendah cukup menggunakan Nomor Induk Berusaha (NIB).
Sementara, izin usaha risiko menengah rendah memerlukan NIB, sertifikat standar dan self declare. Izin risiko menengah tinggi memerlukan NIB, self declare, dan verifikasi. Sedangkan, risiko tinggi memerlukan NIB, izin, dan self declare.