Kalangan istana hingga Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) memastikan tak ada agenda untuk mengamendemen kembali Undang-Undang Dasar 1945 untuk memperpanjang masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Belakangan munculnya wacana masa jabatan presiden menjadi tiga periode dikaitkan dengan Kongres Luar Biasa Partai Demokrat.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Donny Gahral Adian, menegaskan Presiden Jokowi pernah menyampaikan sikap penolakan terkait usulan tersebut. Donny menyebut wacana masa jabatan presiden menjadi tiga periode penuh spekulasi dan sarat motif politik.
"Hentikan spekulasi. Presiden sudah menjelaskan sikapnya yakni menolak tiga periode jabatan presiden," kata Donny lewat pesan singkat, Senin (15/3).
Wacana masa jabatan presiden menjadi tiga periode baru-baru ini kembali dihembuskan politikus Amien Rais. Melalui YouTube Channel Amien Rais Official yang diunggah pada Sabtu (13/3) pukul 20.00 WIB, Amien mengatakan rezim Jokowi ingin menguasai seluruh lembaga tinggi yang ada di Indonesia.
Kemudian setelah lembaga negara dikuasai, kelompok penguasa akan meminta MPR menggelar sidang istimewa. Agendanya memasukkan amendemen masa jabatan presiden menjadi tiga periode.
Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid mengatakan tak ada agenda untuk amendemen UUD 1945. Dia mengatakan pimpinan MPR berkomitmen menjaga amanat reformasi yang membatasi masa jabatan presiden.
"Sampai hari ini belum ada satu pun usulan secara legal dan formal baik dari Istana, individu, maupun anggota MPR ke pimpinan MPR untuk mengubah Undang-Undang Dasar 1945 memperpanjang masa jabatan Presiden menjadi tiga periode," kata Hidayat dikutip dari Antara, Senin (15/3).
Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu mengatakan justru sebagian besar pimpinan MPR dari berbagai fraksi sudah secara terbuka menyatakan tidak memiliki amendemen Undang-Undang Dasar 1945 untuk memperpanjang masa jabatan presiden menjadi tiga periode.
"Itu merupakan sikap kolektif pimpinan MPR untuk menjaga amanat reformasi agar tidak terulang kondisi politik yang tidak demokratis karena masa jabatan presiden yang berkepanjangan seperti pada masa Orde Baru," kata dia.
Dalam Pasal 7 Undang-Undang Dasar 1945 ditetapkan masa jabatan presiden dan wakil presiden selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
Hidayat mengajak masyarakat kritis atas wacana yang berpotensi membuat Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo, bisa maju kembali dalam Pemilihan Presiden 2024.
Perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode hanya bisa dilakukan dengan mengamendemen Undang-Undang Dasar 1945. Amendemen konstitusi hanya bisa dilakukan atas usulan sekurang-kurangnya sepertiga anggota MPR yang diajukan secara formal dan tertulis.
Presiden pun tidak memiliki hak konstitusional untuk meminta MPR menyelenggarakan sidang istimewa untuk mengamendemen Undang-Undang Dasar 1945 guna memperpanjang masa jabatannya.
Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menyebut ketentuan Pasal 7 UUD 45 setelah amendemen pertama pada 1999 tak lagi bersifat multi tafsir. "Aturannya sangat jelas yakni Presiden dan Wakil Presiden hanya menjabat maksimum dua kali periode jabatan selama 10 tahun," kata Yusril dalam keterangan tertulisnya.
Yusril menyebut memang ada peluang perubahan UUD terjadi melalui “konvensi ketatanegaran”. "Teks sebuah pasal tidak berubah, tetapi praktiknya berbeda dengan apa yang diatur di dalam teks," kata Yusril.
Contohnya adalah ketika sistem pemerintahan berubah dalam praktik dari sistem Presidensial ke sistem Parlementer pada Oktober 1945. Namun pada masa sekarang akan sulit menciptakan konvensi semacam itu, mengingat banyak faktor: trauma orde baru, pertentangan oposisi dan kebebasan berekspresi.
Adapun perubahan masa jabatan melalui amendemen UUD 1945 kemungkinannya kecil. Yusril menilai banyak politisi khawatir bila amendemen dibuka, maka tidak seorangpun dapat mengontrol MPR bila kembali melakukan perombakan besar-besaran terhadap UUD 45 seperti terjadi di awal Reformasi.
"Sebagian pihak malah menghendaki semua amandemen dibatalkan dan MPR menetapkan kembali berlakunya UUD 45 versi 18 Agustus 1945," kata Yusril.
Sikap Jokowi Penentu Arah Masa Jabatan Presiden
Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komaruddin pun menilai, amendemen tersebut kemungkinan bisa terjadi lantaran komposisi kursi parlemen saat ini didominasi oleh koalisi pemerintah.
Apalagi saat ini salah satu partai yang bukan bagian pemerintah yakni Demokrat sedang menghadapi konflik. Demokrat terpecah antara di bawah kepemimpinan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan versi KLB yang menetapkan Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko sebagai ketua umum.
"Jika dilihat dari barisan koalisi Jokowi yang mayoritas di parlemen, (amendemen) itu memungkinkan," kata Ujang saat dihubungi katadata.co.id.
Ujang mendorong masyarakat menolak perubahan aturan tersebut. Jabatan presiden selama dua periode dinilai menjadi aturan terbaik. Sebab, presiden yang menjabat selama tiga periode akan berpotensi melakukan korupsi atau penyalahgunaan jabatan.
"Kekuasaan itu akan cenderung korupsi atau disalahgunakan. Dan kekuasaan yang absolut, penyalahgunaan dan korupsinya juga akan absolut," ujar dia.
Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menilai terdapat kecurigaan berlebihan mengkaitkan isu presiden tiga periode dengan KLB Partai Demokrat.
Yusril menyatakan Jokowi tak bisa serta-merta sebagai pendukung gerakan kudeta yang dilakukan Kepala KSP Moeldoko. "Apakah Jokowi mendukung langkah Moeldoko atau tidak, kita belum tahu. Apakah betul Jokowi punya niat mau jadi presiden tiga periode, kita juga belum tahu," kata Yusril dalam keterangan tertulis.
Sebelum kisruh Demokrat, wacana masa jabatan presiden tiga periode ini pernah menjadi isu pada 2019. Ketika itu Ketua DPR Puan Maharani menilai wacana masa jabatan presiden selama 15 tahun perlu dikaji.
Puan tak menjelaskan posisinya mengenai wacana tersebut. Dia menyatakan akan mengikuti kajian dengan komisi DPR terlebih dulu. "Jadi ini akan menjadi wacana yang akan kami bicarakan di komisi II, bagaimana UU dan lainnya," kata Puan kepada wartawan di Plaza Senayan, Jakarta Pusat, Senin (25/11/2019).