Risiko Penyebaran Covid-19 dari Dibukanya Sekolah Tatap Muka

ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani/wsj.
Pelajar mengerjakan soal ujian matematika di SMP Negeri 2 Tarokan, Kediri, Jawa Timur, Rabu (24/3/2021). Meskipun pembelajaran masih secara daring, pemerintah daerah setempat mengizinkan sekolah tingkat SMP hingga SMA menggelar Ujian Satuan Pendidikan (USP) secara tatap muka dengan menerapkan protokal kesehatan COVID-19.
25/3/2021, 06.15 WIB
  • Pemerintah siap membuka kembali pendidikan tatap muka di tengah pandemi.
  • Ahli wabah mengatakan risiko penularan mengintai guru dan siswa.
  • Masih ada institusi pendidikan yang minim sarana kegiatan belajar dengan protokol Covid-19.

Pemerintah akan mengizinkan sekolah untuk kegiatan belajar-mengajar secara tatap muka. Hal ini seiring dengan peningkatan vaksinasi Covid-19 pada guru dan tenaga pendidik.

Presiden Joko Widodo pun menargetkan, kegitan belajar mengajar di luar jaringan bisa dimulai pada semester kedua 2021. Presiden juga menargetkan vaksinasi kepada guru dan tenaga pendidik bisa mencapai 5 juta orang pada Juni.

Selain sekolah, pemerintah menyiapkan pembukaan aktivitas pada perguruan tinggi dan akademi. Berdasarkan ketentuan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) mikro periode 23 Maret-5 April, perguruan tinggi dan akademi diizinkan untuk melakukan kegiatan belajar tatap muka.

Pembukaan kampus dilakukan dengan proyek percontohan serta menerapkan protokol kesehatan. Sementara, kegiatan belajar mengajar untuk tingkat TK, SD, dan SMP dilakukan secara daring atau online.

Meski begitu, pemerintah daerah sudah mempersiapkan pembelajaran tatap muka pada sekolah. Salah satunya DKI Jakarta yang berencana melaksanakan uji coba terbatas dengan kombinasi sekolah tatap muka dan daring.

Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria mengatakan uji coba itu akan berlangsung di seluruh wilayah Ibu Kota, mulai dari tingkat SD hingga SMA dan SMK. Meski demikian, DKI belum menentukan kapan uji coba dimulai.

"Protokol kesehatan wajib diberlakukan saat uji coba, mulai dari pembatasan jumlah orang dan waktu belajar," ujar Riza dilansir dari Antara pada Senin (22/3).

Hingga kini, siswa di Jakarta masih melaksanakan sekolah daring. Makanya Riza berharap vaksinasi Covid-19 dapat segera menurunkan angka kasus agar sekolah tatap muka bisa dilaksanakan. 

Sedangkan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah juga merencanakan pelaksanaan uji coba pembelajaran tatap muka di 140 sekolah mulai 15 sampai 16 April. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengatakan uji coba pembelajaran tatap muka akan dilakukan untuk 35 SMP, 35 SMA, 35 SMK, dan 35 MA.

"Sedangkan untuk tingkat SD, TK, dan PAUD ditunda atas dasar masukan dari sejumlah ahli, termasuk Ikatan Dokter Indonesia," kata Ganjar di Semarang.

Uji coba pembelajaran tatap muka akan dilaksanakan dengan ketentuan ketat. Pihak sekolah dan orang tua siswa wajib melaksanakan protokol kesehatan mulai dari berangkat, berkegiatan di sekolah, hingga pulang ke rumah masing-masing.

Selain itu, semua guru yang melaksanakan pembelajaran tatap muka harus divaksinasi untuk menjamin keamanan. Jika uji coba itu sukses, uji coba tahap kedua akan digelar pada 26 April 2021-7 Mei 2021 dengan penambahan jumlah sekolah dan siswa. Adapun uji tahap ketiga akan dilakukan pada 12 Juli sampai September 2021.

Meski pemerintah telah bersiap-siap, namun pakar mengingatkan adanya risiko penularan corona. Epidemiolog dari Universitas Indonesia (UI) Tri Yunis Miko mengatakan, belajar mengajar di luar jsemestinya dilakukan saat tingkat kasus positif (positivty rate) di bawah 10 persen.

"Karena positvity rate itu menunjukan risiko penularan," kata dia saat dihubungi Katadata.co.id, Rabu (24/3).

Positivity rate di atas 10 persen menandakan tingkat penularan Covid-19 yang masih tinggi. Sementara, rasio positif di kisaran 5-10 persen mencerminkan tingkat penularan sedang. Adapun angka di bawah 5 persen mengindikasikan penularan rendah.

Oleh karena itu, Miko menganggap pembukaan sekolah untuk wilayah dengan positivity rate di atas 10 persen terlalu berisiko. Terlebih lagi, vaksinasi belum menjangkau murid sekolah.

Ia pun menilai, vaksinasi hanya kepada guru tidak menjamin keamanan dari potensi penularan virus corona. Sesuai efikasi vaksin, masih ada 30 persen kemungkinan guru tertular virus corona.

Pembukaan sekolah pun disarankan dengan protokol kesehatan yang ketat. Kedisiplinan murid juga harus dipastikan terjaga mulai dari rumah, perjalanan, hingga sampai di sekolah.

Kemudian, kapasitas murid dalam kelas dibatasi sebanyak 10-15 orang dengan pengaturan tempat duduk yang terpisah. Murid dan guru juga disarankan mengenakan masker dan pelindung wajah (face shield).

Tak hanya itu, opsi sekolah secara online tetap harus disediakan. Bila perlu, siswa dan guru yang hadir di sekolah harus melakukan tes usap antigen. "Guru bisa didanai oleh BOS (Bantuan Operasional Sekolah)," katanya.

Peneliti Global Health Security dan Pandemi Griffith University Australia Dicky Budiman mengatakan, semakin tinggi tingkat penularan komunitas, maka semakin besar pula kemungkinan virus corona merambah ke sekolah dari komunitas.

"Ini dapat menyebabkan penularan di sekolah jika strategi pencegahan berlapis tidak digunakan," kata Dicky dalam bahan paparannya.

Ia pun merekomendasikan langkah pencegahan penularan di sekolah. Pertama, informasi tentang tingkat penularan komunitas harus dikombinasikan dengan kasus di sekolah serta pelaksanaan strategi mencegah penyebaran virus.

Kedua, pembatasan pada olahraga dan kegiatan ekstrakurikuler. Ketiga, sekolah dan petugas kesehatan harus mempertimbangkan jumlah kasus Covid-19 antara siswa, guru, dan staf.

Keempat, sekolah harus mempertimbangkan jumlah orang yang menjalani karantina, kepatuhan dengan strategi pencegahan, dan tingkat penularan komunitas. Kelima, penerapan jarak antar siswa 2 meter, menjaga ventilasi yang baik,penggunaan masker yang benar, dan tes untuk mendeteksi individu tertular Covid-19.

 Terakhir, mempercepat vaksinasi untuk guru dan staf; penerapan etiket mencuci tangan, batuk, dan bersin; membersihkan dan memelihara fasilitas sekolah secara rutin; penyediaan sistem pelacakan kontak; dan evaluasi secara berkala dua minggu sekali.

Belum Layak Buka

Pembukaan belajar mengajar di kampus  juga memerlukan sejumlah persiapan. Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia, Ubaid Matraji mengatakan, pemeriksaan secara ketat diperlukan sebelum kuliah tatap muka dilakukan.

Ia pun menyoroti banyaknya perguruan tinggi yang belum memiliki sarana dan prasarana yang mendukung penerapan protokol kesehatan. "Sanitasi tidak layak, banyak tenaga kependidikan dan dosen belum divaksin," ujar dia.

Makanya perlu ada observasi dan verifikasi terhadap perguruan tinggi yang akan dibuka. Tenaga pendidik juga harus dipastikan telah divaksinasi.

Selain itu, pendataan terhadap dosen dan mahasiswa diperlukan. "Apakah dia ke kampus pakai transportasi publik, apakah tinggal di zona merah, apakah pernah berinteraksi dengan orang kena Covid-19," katanya.

WISUDA TATAP MUKA DENGAN PROTOKOL KESEHATAN (ANTARA FOTO/Abriawan Abhe/hp.)

Apalagi survei Badan Pusat Statistik (BPS) pada September 2020 menyebutkan hanya 68,2 persen responden berusia 16 sampai 30 tahun yang patuh menjauhi kerumunan agar tak terkena Covid-19. Angka ini di bawah 76 persen di rentang usia 31 sampai 35 tahun, 84,6 persen pada usia 46 sampai 60, dan 88,5 persen pada rentang di atas 60 tahun.

Di sisi lain, Ubaid mengakui pelaksanaan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) berdampak pada penurunan kualitas pendidikan. Ini lantaran  sejumlah mahasiswa sulit mendapatkan timbal balik dan berdiskusi dengan dosennya.

Ubaid menilai, pemerintah semestinya mulai meningkatkan sarana dan prasarana di perguruan tinggi dan akademi, baik negeri maupun swasta. "Dana harus ada dialokasikan untuk penerapan protokol kesehatan di lingkungan kampus dan akademi," kata dia.

Reporter: Rizky Alika