Kapolri Larang Media Meliput Kekerasan Polisi Tuai Kritik

Adi Maulana Ibrahim|Katadata
Anggota kepolisian berjaga di depan Gereja Katedral, Jakarta, Kamis (1/4/2021). Sebanyak 5.590 personel gabungan dari Polri, TNI, dan Pemprov DKI Jakarta melakukan penjagaan dan sterilisasi di 833 gereja yang tersebar di Jakarta pada perayaan Paskah 2021. PWI menilai Surat Telegram Kapolri soal ketentuan peliputan media salah alamat dan bisa bikin gaduh.
6/4/2021, 15.24 WIB

Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) angkat bicara soal telegram Kepala Polri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo yang melarang media meliput kekerasan yang dilakukan anggota kepolisian. Ketua Dewan Kehormatan PWI Ilham Bintang menganggap aturan baru itu salah alamat dan bisa menimbulkan kegaduhan.

Dia menjelaskan derajat Telegram Kapolri jauh berada di bawah Undang-undang Pers Nomor 40 Tahun 1999. Adapun tugas media meliput dan memberitakan apapun yang dilakukan polisi sebagai bentuk koreksi dan peran pengawasan.

“Yang benar, Kapolri harus melarang polisi bersikap arogan dalam melaksanakan tugas,” kata Bintang dalam pesan singkat kepada sejumlah awak media, Selasa (6/4).

Ia berharap awak serta organisasi media mengklarifikasi telegram tersebut kepada kepolisian demi mencegah salah penafsiran oleh petugas di lapangan. Apalagi UU Pers saat ini tak bisa ditafsirkan oleh eksekutif lantaran tak ada aturan teknis di bawahnya.

“Beda dengan UU Pers sebelumnya yaitu UU Pokok Pers yang tafsirnya sekehendak penguasa,” kata Ilham.

Sebelumnya Sigit menerbitkan Telegram nomor 750/IV/HUM.3.4.5./2021 yang memerintahkan seluruh humas kepolisian melarang media menyiarkan sejumlah hal.

Dalam poin pertama, media tak boleh menyiarkan upaya kekerasan dan arogansi serta diimbau menayangkan kegiatan polisi yang humanis. Kedua, tidak menyajikan rekaman interogasi dan penyidikan terhadap tersangka.

Ketiga, tidak menayangkan secara terperinci rekonstruksi yang dilakukan polisi. Keempat, tidak memberitakan secara terperinci reka ulang kejahatan meski bersumber dari pejabat kepolisian maupun fakta pengadilan.

Kelima, tidak menayangkan reka ulang pemerkosaan atau kejahatan seksual. Keenam, menyamarkan wajah dan identitas korban kejahatan seksual, keluarganya, serta orang yang diduga pelaku dan keluarganya.

Ketujuh, menyamarkan wajah dan identitas pelaku, korban, serta keluarga terkait kejahatan kepada anak di bawah umur. Kedelapan, tidak menayangkan secara eksplisit reka ulang bunuh diri serta menyampaikan identitas pelaku.

Kesembilan, tidak menayangkan tawuran atau perkelahian secara detail dan berulang-ulang. Kesepuluh, penangkapan pelaku kejahatan tidak boleh media atau disiarkan secara live. Dokumentasi akan dilakukan personel Polri. Kesebelas, tidak menampilkan gambar eksplisit dan terperinci mengenai cara membuat dan mengaktifkan bahan peledak.