Setelah hilang lebih 72 jam, pada Sabtu (24/4) KRI Nanggala 402 resmi dinyatakan tenggelam di utara perairan Bali. Harapan sanak keluarga bertemu lagi dengan 53 awak kapal selam itu kian pupus. Saya pun saat ini diliputi keharuan, ketika mengenang kembali pengalaman berada di dalam kapal selam Nanggala dan berinteraksi dengan para awaknya sekitar tujuh tahun silam.
Tepatnya awal September 2014, saya mendapatkan kesempatan langka tersebut. Dari seorang sahabat, saya mendengar kabar KRI Nanggala sedang merapat di Tanjung Priok, Jakarta, setelah pulang dari perbaikan besar-besaran di Korea Selatan.
Sebagai sesama penggemar kemiliteran, kami antusias mendengar kabar tersebut. Kebetulan sahabat saya juga punya pergaulan cukup luas di kalangan TNI Angkatan Laut. Salah satunya dengan Letnan Kolonel Laut Heri Octavian, yang kemudian menjadi komandan kapal selam KRI Nanggala - 402 saat peristiwa nahas ini terjadi.
Tujuh tahun silam, Heri masih Kapten di kapal selam KRI Nagapasa - 403. Tapi, saat itu, kami mendengar kabar dia memang akan dipindahtugaskan ke KRI Nanggala
Karier Heri memang tergolong moncer: setelah selesai pendidikan di Jerman dan Australia, tahun 2019 dia menjadi Kepala Sekolah Kapal Selam (Sekasel) yang berada di bawah Pusat Pendidikan Khusus Komando Pendidikan Operasi Laut Kodikopsla.
Heri tergolong supel, cerdas, dan gemar berdiskusi. Berkat dia pula, kami dapat mengunjungi KRI Nanggala. Bersama saya dan sahabat saya, ikut pula enam orang lain yang sama-sama penggemar militer untuk menyaksikan langsung kapal selam asal Jerman berusia 42 tahun tersebut.
Paus besi itu bersandar di ujung dermaga, di samping sebuah menara derek peti kemas bercat biru muda, tak jauh dari Markas Komando Lintas Laut Militer (Kolinlamil) Wilayah Barat. Badan sebelah kirinya menempel tepian dermaga. Sedangkan di depan hidung Nanggala bersandar kapal tongkang besar yang penuh karat.
Di tengah cuaca terik pukul dua siang, delapan orang rombongan kami disambut ramah oleh Mualim 1 Kapal beserta beberapa awak kapal. Kami berbincang di bibir jembatan kecil untuk naik ke kapal. Mata saya tak bisa lepas dari Nanggala, menikmati sebuah karya seni instalasi di ruang terbuka. Bahkan bagi orang yang bukan penggemar alutsista (alat utama sistem persenjataan) militer, KRI Nanggala tampak memukau.
Saya berjalan pelan menyusuri pinggiran dermaga sembari mengamati Nanggala dari haluan sampai buritan. Menara anjungannya setinggi sekitar lima meter.
Di puncak menara tampak dua awak kapal berpakaian dinas lengkap dengan dipayungi terpal. Di belakang mereka, terlihat dua selongsong pipa periskop dan antena komunikasi. Sebilah papan kayu selebar sekitar satu meter bertuliskan “Nanggala” menempel di puncak menara.
Di tengah menara angka “402” putih setinggi satu meter tampak mencolok. Di depan angka 402 mencuat tabung lentera berwarna merah setinggi 50 cm dengan diameter sekitar 15 cm. Bila sedang berlayar di permukaan air, lentera ini akan menyembul keluar dari dinding menara. Bila menyelam, lentera akan ditarik masuk kembali.
Di sisi kanan menara–dengan posisi yang sama–juga dipasang tabung serupa namun berwarna hijau. Fungsi kedua lentera ini untuk menunjukkan referensi arah laju kapal selam bagi kapal-kapal lain yang berlayar di dekatnya agar terhindar dari tabrakan, terutama di malam hari.
Saat menyelam, bagian dalam menara akan ikut dipenuhi air. Jadi tidak ada ruang kerja di situ, kecuali tangga menuju puncak menara.
Hal yang menyita perhatian saya adalah besi kulit Nanggala yang sedikit kecokelatan. Tidak hitam legam seperti bayangan saya sebelumnya. Yang pasti bukan karena karat, karena kapal ini baru saja dipermak dan dipoles di Korea Selatan. Malahan tak tampak karat sama sekali.
Semua cat tampak baru. Tulisan besar “402” di menara kapal masih terlihat kinclong putih bersih. Baut-bautnya mirip dengan yang dipakai untuk kulit pesawat terbang. Bila diamati lebih dekat, di sana sini tampak bekas korosi yang baru dibersihkan dan dicat ulang, namun tetap saja menyisakan renyuk yang tidak bisa mulus dan licin lagi.
Beberapa sambungan antarpanel juga tampak tidak rata lagi. Tekanan dari kedalaman laut yang berkepanjangan meninggalkan banyak sekali kedutan kecil di kulit Nanggala. Ini menandakan betapa luas dan dalamnya samudera yang sudah diarunginya.
Kami segera menaiki punggung Nanggala. Sekitar lima meter di depan menara anjungan ada palka kecil terbuka dengan pegangan tangga mencuat. Palang pintunya bulat. Tampak awak kapal keluar masuk dari situ membawa kardus dan buah-buahan. “Kami sedang mengisi supply makanan,” ujar sang Mualim 1 Kapal.
Kami masuk melalui pintu palka itu. Tangga turunnya sempit. Diameternya hanya sekitar 80 cm. Begitu masuk, saya terkesima. Ternyata di dalam ruangannya berpendingin, dan penerangan cukup baik.
Kami langsung mendapati gang sempit ke arah haluan dan buritan. Di haluan ada ruang torpedo, namun kami terlebih dulu berjalan ke arah buritan, ke ruang komando yang berada persis di bawah menara anjungan.
Gang ke arah ruang komando cukup sempit. Hanya cukup dilewati satu orang dewasa. Bila berpapasan, masing-masing harus merapatkan punggung ke dinding.
Sebelum mencapai ruang komando, kami melewati deretan kamar tidur awak kapal yang terlihat seperti deretan kamar kos. Beberapa kamar hanya ditutupi tirai. Di dinding lorong ini terpasang satu wayang kulit dengan bingkai kayu.
Sebelumnya kami sudah mengetahui kalau kapal dibagi beberapa kompartemen. Masing-masing kompartemen disekat pintu kecil dengan segel yang kedap air dan udara. Ada jarak sekitar sejengkal antara bibir bawah pintu dengan dasar lantai. Tinggi pintu pun hanya sekitar 1,5 meter. Jadi, kami mesti menunduk agar kepala tidak membentur pintu namun sembari memperhatikan kaki agar tidak terantuk.
Halaman selanjutnya: Saat masuk ruang komando, terasa makin sempit.