Saat masuk ruang komando, terasa makin sempit. Dinding kapal tampak melengkung membentuk kubah, dengan tumpukan pipa, kenop, dan tuas kontrol di berbagai tempat, bahkan tepat di atas kepala kita.
Bagian tengah ruangan didominasi pipa periskop bersepuh chrome yang tebal. Saya baru menyadari kalau pipa periskop tersebut terus memanjang hingga turun ke lantai bawah. Ada dua periskop, yaitu periskop pencari dan periskop serang. Masing-masing dengan kontrol terpisah. Pada panel kontrol periskop terdapat tulisan merk Zeiss, West Germany.
Meski berjejalan di ruang komando, kami tetap merasa nyaman karena udara sejuk, tidak pengap, dan penerangannya baik. Cahaya lampu putih cenderung kuning. Tidak terlalu terang tapi mampu menerangi ceruk-ceruk panel yang berkelindan di ruangan itu.
Ada beberapa anjungan untuk beragam kendali dan fungsi tempur. Masing-masing anjungan dengan kursi berwarna biru tua dan meja kerja yang unik. Tombol dan tuas kontrolnya berbeda-beda. Di salah satu dinding kendali tampak laporan “Prakiraan Harian Tinggi Gelombang Satu Minggu ke Depan” yang dirilis BMKG.
Namun ada juga beberapa panel yang tampaknya sengaja ditutup semacam terpal tebal tak tembus pandang. Saya menduganya layar sonar. “Kamu gak usah tahu itu apa,” kata sang Mualim 1 seraya berseloroh. Sambil tersenyum, kami mengangguk maklum.
Selain anjungan kendali, di tengah ruangan komando ada meja kecil untuk membuka peta navigasi. Saya kewalahan melihat banyaknya panel digital maupun analog di situ. Ada yang dalam Bahasa Inggris, ada yang dengan label Bahasa Indonesia.
Dari ruang komando terdapat pintu palka menuju menara. Di ujung bawah tangga menuju menara saya mendapati kantong-kantong kecil disusun rapi menempel di dinding.
“Itu tempat ponsel,” jelas seorang awak kapal. “Saat menyelam kami tidak mendapatkan sinyal ponsel. Jadi kami menunggu sampai kami muncul ke permukaan. Nah, saat membuka palka, sinyal akan masuk lewat situ, jadi di sinilah kami tempatkan ponsel-ponsel kami,” cerita seorang awak kapal.
Sebelum memasuki Nanggala, saya membayangkan akan mencium bebauan khas bengkel mobil. Bau kopling yang menyengat, oli, bensin, karet gosong, dan sejenisnya.
Tapi, semua bau itu tidak ada. Hanya tercium sedikit bau besi. Jadi, ventilasi udaranya cukup baik meski saya menjumpai satu kaleng besar pengharum ruangan semprot di ruang kendali kapal.
Ruang mesin ada di buritan. Saat kami berkunjung, mesin dinyalakan namun tidak dalam kapasitas penuh. Saat berlayar di atas permukaan laut, kapal akan menggunakan mesin dieselnya sebagai tenaga pendorong, sekaligus mengisi baterai. Namun, saat menyelam–terutama saat kondisi tempur–sistem kelistrikan kapal sepenuhnya bergantung pada baterai.
Sebelum keluar kapal dan menyudahi kunjungan ini, kami melewati kompartemen torpedo di haluan. Tampak enam dari delapan tabung torpedo di situ. Menurut seorang awak kapal, mereka kadang istirahat dan tidur di antara tabung torpedo.
Kami berada dalam lambung Nanggala sekitar 30 menit. Namun dalam waktu yang singkat itu, saya makin kagum dan hormat kepada para awak kapal selam. Sebab, dalam ruang kerja yang bisa menimbulkan klaustrofobia, mereka dituntut selalu dalam kondisi waspada dan menerapkan etos kerja yang tinggi.
Di kedalaman samudera yang tekanan airnya bisa meremukkan tulang, mereka juga dituntut untuk tidak melakukan kesalahan sedikit pun. Meski memikul tugas berat, serta menyelam di dalam dinginnya samudera dan kerasnya “paus besi” tersebut, saya menjumpai para awak kapal dengan kepribadian santun, tulus, dan ramah.
Letkol Heri Octavian juga menunjukkan wawasan bela negara kepada kami dengan memperkenalkan KRI Nanggala beserta para awak kapalnya. Menukil ucapan tokoh Presiden Amerika Serikat Franklin D. Roosevelt dalam film Pearl Harbor tahun 2001, “Saya suka para komandan kapal selam. Mereka tak ada waktu untuk omong kosong.”
Sekarang, tujuh tahun setelah lawatan 30 menit saya yang mengesankan tersebut, KRI Nanggala beserta komandan dan semua awak kapalnya tetap “Tabah Sampai Akhir” –seperti motto kapal selam ini— menjalankan tugas negara hingga di kedalaman laut utara Bali.
Selamat jalan para ksatria bangsa yang tabah hingga akhir hayatnya.