Kepolisian menggeledah kediaman Munarman dan markas Front Pembela Islam usai penangkapan pengacara Rizieq Sihab itu. Dari penggeledahan tersebut, polisi menyita bahan baku peledak, telepon genggam, hingga buku-buku milik Munarman.
Tim Densus 88 Polri menemukan bahan baku peledak saat melakukan penggeledahan di bekas markas FPI yang terletak di Petamburan, Jakarta Pusat, Selasa (27/4). "Ada beberapa botol plastik yang berisi cairan TATP (triacetone triperoxide). Cairan TATP ini merupakan aseton yang digunakan untuk bahan peledak," kata Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Pol Ahmad Ramadhan dalam jumpa pers di Polda Metro Jaya, Selasa.
Selain TATP tersebut tim Densus 88 juga menemukan bahan baku peledak lainnya berupa sejumlah tabung yang berisi serbuk mengandung nitrat sangat tinggi, jenis aseton."Ini akan didalami oleh penyidik," tambahnya.
Sementara itu, Kuasa hukum Munarman Azis Yanuar, mengatakan polisi juga menggeledah kediaman kliennya. Dalam penggeledahan tersebut, polisi menyita telepon genggam dan sejumlah buku, di antaranya terkait dengan demokrasi serta syariat Islam.
"Ya, rumahnya sudah digeledah oleh polisi," kata Azis saat dihubungi di Jakarta, Selasa (27/4).
Penggeledahan dilakukan usaih Juru Bicara sekaligus Sekretaris Umum Front Pembela Islam (FPI) sebelum organisasi tersebut dilarang oleh Pemerintah itu ditangkap Perumahan Modern Hills, Pamulang, Tangerang Selatan. Ia diduga bermufakat jahat dalam tindak pidana terorisme dan menyembunyukan informasi terkait terorisme.
Munarman menjadi orang terakhir terkait FPI yang diciduk oleh aparat. Sebelumnya polisi telah menangkap Rizieq Shihab hingga Shobri Lubis terkait kerumunan di Petamburan dan Bogor. Rizieq bahkan sedang menjalani proses persidangan.
Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono membenarkan bahwa penangkapan ini terkait kasus tahun 2015. Munarman diduga menghadiri baiat Anggota ISIS tahun 2015 di Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Kepolisian Indonesia Edi Hasibuan meyakini kepolisian memiliki bukti yang cukup untuk menangkap Munarman. Menurut Edi, masyarakat harus memberikan kesempatan kepada penyidik untuk memeriksa Munarman dalam 7 kali 24 jam.
"Kami yakin polisi punya bukti yang cukup. Polri tidak pernah mundur untuk menangkap siapa pun jika terbukti melanggar hukum. Namun, kita tetap harus memegang praduga tak bersalah terhadap Munarman," kata Edi Hasibuan.
Anggota Komisi III DPR I Wayan Sudirta menjelaskan penangkapan seseorang dalam kasus dugaan tindak pidana terorisme berbeda dengan tindak pidana biasa. Penangkapan seseorang dalam kasus tindak pidana biasa hanya 1 kali 24 jam, sedangkan dalam kasus terorisme, penyidik dapat melakukan penangkapan berdasarkan bukti penerimaan yang cukup untuk waktu paling lama 14 hari.
Pasal 28 ayat 2 UU tersebut mengatur, penyidik dapat mengajukan permohonan perpanjangan penangkapan untuk waktu tujuh hari kepada ketua pengadilan negeri setempat.
"Sehingga punya 21 hari kalau dihitung secara keseluruhan. Pasal 28 ayat 1 dan 2 UU Nomor 5 Tahun 2018, polisi punya kewenangan menangkap paling lama 21 hari. Inilah keleluasaan yang diberikan UU kepada kepolisian, itulah kelebihan kewenangan yang dimiliki, ketimbang tindak pidana lain," katanya.
Wayan mengatakan, dalam Pasal 17 KUHAP disebutkan bahwa perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Syarat penangkapan adalah harus ada bukti permulaan cukup.
"Apa bukti permulaan cukup? Itu ada di putusan MK Nomor 21 Tahun 2014. Harus minimal ada dua alat bukti. Oleh karena itu, polisi pasti terikat dengan ini," ujarnya.