Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) akan mengajukan gugatan praperadilan untuk membatalkan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada Sjamsul Nursalim pada Jumat (30/4). Sejumlah pengamat pun memperkirakan gugatan tersebut bisa membatalkan SP3 yang dikeluarkan oleh Komisi Pemberantas Korupsi (KPK).
Pengajar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan MAKI merupakan bagian dari masyarakat Indonesia yang mempunyai kedudukan hukum untuk mengajukan praperadilan terhadap SP3 itu. Gugatan tersebut bepotensi membatalkan SP3 perdana tersebut lantaran syarat penerbitannya dianggap berat.
"Soal peluangnya, saya prediksi sangat berpeluang (SP3 batal)," kata Fickar saat dihubungi Katadata.co.id, Kamis (29/4).
Fickar mengatakan, kasus Sjamsul Nursalim sudah memasuki tahap penyidikan oleh KPK sebelum adanya Undang-Undang KPK terbaru yakni UU 19/2019. Ini artinya, komisi antirasuah sudah menemukan setidaknya dua alat bukti sehingga pemeriksaan ditingkatkan ke penyidikan.
Pasal 40 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 mengatur tentang penghentian penyidikan dan penuntutan perkara tindak pidana korupsi yang tidak selesai dalam jangka waktu paling lama dua tahun.
Fickar mengatakan SP3 bisa diterbitkan jika tidak cukup bukti atau karena ada putusan pengadilan yang menyatakan bukan perkara pidana. Jika penerbitan SP3 karena kekurangan alat bukti atau bukan perkara pidana, semestinya pemeriksaan dihentikan pada waktu penyelidikan, bukan penyidikan.
"Jadi menurut saya praperadilan ini potensial dikabulkan dan perkara harus dibuka lagi oleh KPK," ujar dia.
Sementara, pakar hukum pidana dari Universitas Al-Azhar, Suparji Ahmad juga mengatakan MAKI memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan praperadilan. Ia pun menilai, ada peluang gugatan tersebut dikabulkan meski tidak mudah.
Ini lantaran KPK kemungkinan sudah memperhatikan aspek prosedur dan formal dalam menerbitkan SP3. "Praperadilan kompetensinya hanya menguji aspek prosedur atau administratif dalam penerbitan SP3 dan tidak masuk pokok perkara terjadinya korupsi atau tidak," katanya.
Sementara, Koordinator MAKI Boyamin Saiman mengatakan, gugatan praperadilan akan diajukan pada Jumat (30/4). Boyamin beralasan KPK mendalilkan SP3 dengan rujukan bebasnya Syafrudin Arsyad Temenggung sehingga tak ada lagi aspek penyelenggara negara dalam perkara BLBI dan Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).
Dia menganggap hal ini tidak benar karena dalam surat dakwaan, Syafrudin Arsyad Temenggung didakwa bersama dengan Dorodjatun Koentjoro-Jakti yang saat itu menjadi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.
Pada persidangan Syafrudin 15 Mei 2018 lalu, jaksa KPK juga mendakwa Dorodjatun yang dianggap ikut memperkaya Sjamsul dalam kasus tersebut. Dengan kata lain, meskipun Syafrudin telah bebas, masih ada Penyelenggara Negara lainnya yang bisa dieksplorasi lebih jauh.
"Sangat memprihatinkan KPK telah lupa ingatan atas Surat Dakwaan yang telah dibuat dan diajukan ke Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada tahun 2018," ujar dia.
Selain itu, putusan bebas Syafrudin tidak bisa dijadikan dasar SP3 karena RI menganut sistem hukum pidana kontinental warisan Belanda, yaitu tidak berlakunya sistem yurisprudensi. Artinya, putusan atas seseorang tidak serta merta berlaku bagi orang lain.
Pada 2008, MAKI pernah memenangkan praperadilan atas SP3 melawan Jaksa Agung atas perkara yang sama, yaitu dugaan korupsi BLBI BDNI. Dalam putusan tersebut, disebutkan pengembalian kerugian negara tidak menghapus pidana korupsi. Mereka akan menjadikan pertimbangan hakim pada 13 tahun lalu sebagai dasar praperadilan.
Mahfud Kantongi Dokumen BLBI dari KPK
Sedangkan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD telah menyambangi Gedung KPK, Jakarta untuk meminta dokumen BLBI. Mahfud yang ditemani Satgas BLBI diterima oleh Pimpinan KPK Firli Bahuri bersama seluruh komisionernya. "Kami dapat dokumen dari KPK tadi tentang ini," kata Mahfud di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (29/4) dikutip dari Antara.
Pemerintah saat ini tengah mengklasifikasi aset jaminan terkait kasus BLBI. "Barang jaminannya sudah ada sekarang karena sudah selesai, kami klasifikasi mana yang bisa dieksekusi sekarang, mana yang bisa ditagih dalam bentuk tunai dan sebagainya," ujar Mahfud.
Adapun, perkara BLBI semula merupakan utang keperdataan yang diselesaikan melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002. Pada waktu itu, Mahkamah Agung (MA) memutuskan bahwa Inpres itu sudah sah.
Pembayaran utang terkait Inpres tersebut terakhir pada 2004 dalam bentuk keluarnya beberapa Surat Keterangan Lunas (SKL) dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Sementara, DPR juga mengeluarkan keputusan perkara BLBI yang dianggap sudah selesai.
Adapun KPK membawa satu dari 48 obligor yakni Sjamsul ke ranah pidana meski kasusnya telah dihentikan. Meski demikian, putusan tersebut dinyatakan ontslag van alle rechtsvervolging yang berarti subjek bersangkutan tetap salah meski sekarang masuk ranah perdata.
"Ontslag itu betul ada kerugian negara yang bisa ditagih tetapi itu bukan pidana melainkan perdata," kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu.