Pemecatan 51 Pegawai KPK Berpotensi Turunkan Indeks Korupsi RI

ANTARA FOTO/Maulana Surya/rwa.
Mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo yang tergabung dalam Aliansi Sebelas Maret Anti Korupsi (Semarak) berunjuk rasa di Solo, Jawa Tengah, Senin (7/6/2021). Transparency International Indonesia memprediksi polemik pemecatan 51 pegawai berpotensi turunkan indeks pemberantasan korupsi RI.
8/6/2021, 15.09 WIB

Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan memberhentikan 51 pegawai komisi antirasuah yang tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan. Transparency International Indonesia memprediksi polemik ini bisa menurunkan indeks persepsi korupsi Indonesia.

Bukan tanpa sebab, proses alih status pegawai KPK saat ini masih berlarut-larut. Sedangkan mereka yang dinyatakan tak lolos sedang terlibat aktif dalam berbagai penanganan kasus korupsi.

Sekjen Transparency International Indonesia (TII) Danang Widoyoko mengatakan kondisi ini bisa berpengaruh terhadap kendurnya pemberantasan korupsi di mata publik.  "Mudah-mudahan tidak turun tapi saya khawatir untuk stagnan saja sulit, kemungkinan besar turun," kata Danang dalam diskusi daring Amnesty International Indonesia, Selasa (8/6).

Sebagaimana diketahui, Indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia pada 2020 tercatat sebesar 37 dari skala 0-100. Skor IPK Indonesia pada 2020 turun 3 poin dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebesar 40. 

Dengan turunnya skor IPK, posisi Indonesia melorot dari peringkat 85 menjadi 102 dari 180 negara.  Hal tersebut membuat skor dan peringkat IPK Indonesia pada 2020 setara dengan Gambia. "Dampak terbesar adalah penurunan persepsi publik dan kemampuan penindakan KPK," katanya.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, pemberhentian para pegawai itu bisa berdampak pada perampasan hak masyarakat. Menurutnya, negara berkewajiban melindungi Hak Asasi Manusia (HAM) melalui pemberantasan korupsi yang berdampak pada pemenuhan hak sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat.

Dengan pemberhentian 51 pegawai, korupsi pada sektor lingkungan dan manajemen sumber daya manusia berpotensi meningkat. "Akibatnya masyarakat adat jelas terdampak hak-haknya karena perampasan lahan akibat pemberian konsesi yang penuh korupsi, kolusi, dan nepotisme," kata Usman 

Di sisi lain, hak 51 pegawai KPK juga hilang seiring dengan keputusan pemberhentian secara sepihak. Sebab, pegawai tersebut memiliki hak untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam dipromosikan, dimutasi, atau diberhentikan tanpa adanya diskriminasi.

Sementara, Usman menilai Tes Wawasan Kebangsaan menjadi bentuk diskriminasi pegawai KPK lantaran menyentuh pandangan pribadi pegawai. Sebagaimana diketahui, sejumlah pertanyaan yang diajukan kepada pegawai saat tes meliputi pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT).

 Usman juga menambahkan pemberhentian 51 pegawai tersebut diperkirakan bakal menurunkan kredibilitas KPK di forum internasional.  "Itu jelas bentuk diskriminasi yang sangat tidak dibenarkan," katanya.

Tak hanya itu, Direktur Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak mengatakan, pemecatan 51 pegawai itu berpotensi meningkatkan korupsi pada sektor lingkungan dan manajemen Sumber Daya Alam (SDA).

Menurutnya, sumber utama kerusakan lingkungan di Tanah Air ialah lantaran adanya praktik korupsi. Adapun, praktik korupsi yang mengemuka ialah alih guna lahan yang marak terjadi terutama menjelang pemilihan kepala daerah.

"Ada potensi korupsi di bidang manajamen SDA dan sektor lingkungan akan meningkat karena yang terbaik disingkirkan," kata Leonard dalam diskusi daring Amnesty International Indonesia, Selasa (8/6).

Pada era kepemimpinan KPK sebelum Firli Bahuri, komisi antirasuah itu menginisiasi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam. Leonard menilai KPK memiliki kinerja yang baik dalam mencegah dan menutup lubang pada sektor perizinan yang rentan memicu praktik korupsi.

Saat itu, banyak aktor besar yang terlibat dalam korupsi di sektor lingkungan. "Teman-teman penyelidik dan penyidik terbaik KPK berperan besar selama ini dalam membongkar kasus itu," ujar dia.

Mantan pegawai KPK bidang SDM Sari Wardhani mengatakan, KPK telah melanggar hak kerja dari 51 pegawai. Sebab, pemutusan hubungan kerja tidak bisa hanya diputuskan dari hasil TWK. 

Menurutnya, pemutusan hubungan kerja harus menyertakan bukti terkait kinerja dan kompetensi pegawai. Hal ini telah diatur dalam kerangka pilar sumber daya manusia di KPK.

Pegawai tersebut juga memiliki kesempatan untuk membela diri dan menyampaikan bukti kinerjanya melalui sidang. Selain itu, Dewan Pertimbangan Pegawai juga bertugas untuk memberikan rekomendasi terkait pemberhentian hubungan kerja. "Sementara pemberhentian pegawai ini hanya (keputusan) sepihak," katanya.

Reporter: Rizky Alika