Bahaya Multitafsir Pasal Penghinaan Presiden dalam RUU KUHP

ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Sejumlah mahasiswa menggelar aksi unjuk rasa menolak RUU KPK dan RUU KUHP di sekitaran Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (1/10/2019).
10/6/2021, 20.36 WIB

Pemerintah memasukkan pasal mengenai penghinaan presiden dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ahli hukum pidana menilai, pasal tersebut berpotensi disalahgunakan aparat.

Dalam draf RUU KUHP, mereka yang menghina Presiden atau Wakil Presiden terancam penjara 3,5 tahun. Sedangkan penghinaan lewat media sosial ancamannya bisa mencapai 4,5 tahun bui.

Pakar Hukum Pidana dari Universitas Al Azhar Indonesia Suparji Ahmad  mengatakan pasal penghinaan presiden tidak boleh multitafsir. "Pasal tersebut harus jelas, tidak 'abu-abu' tidak multitafsir dan memenuhi prinsip lex scripta, lex certa, lex stricta dan lex praevia," katanya saat dihubungi Katadata.co,id, Kamis (10/6).

Adapun, lex scripta artinya hukum pidana tersebut harus tertulis sementara lex certa artinya rumusan delik pidana itu harus jelas. Sedangkan, lex stricta artinya rumusan pidana itu harus dimaknai tegas tanpa ada analogi, sementara lex praevia ialah hukum pidana tidak dapat diberlakukan surut.

Ia pun menilai, penghinaan presiden menjadi delik aduan absolut dan rawan terjadi penafsiran hukum yang cenderung subjektif. Oleh sebab itu Suparji meminta pemerintah mengatur secara jelas teknis pengaduan.

Di sisi lain, perlu dibedakan antara ujaran kebencian, kritik, pembelaan diri, kepentingan umum. Dia tak ingin melihat maraknya pengaduan hanya karena perbedaan pendapat.

"Pemahaman filosofis, yuridis dan sosiologis terhadap apa itu penghinaan, hate speech dan kritik sangat diperlukan," katanya.

Sedangkan dosen pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta Chairul Huda berharap pembuatan norma yang lebih jelas. Sebagai contoh, perlu definisi terang terkait penyerangan presiden.

"Bisa saja disalahgunakan, pasal kan seperti pisau. Semua pasal bisa disalahgunakan, tergantung mental aparatnya," kata Chairul.

Selain itu, ia mengatakan perlu perbaikan mental para aparatur negara guna mencegah penyalahgunaan aturan. Hal ini untuk mencegah penggunaan pasal penghinaan presiden sebagai alat untuk membungkam kritik.

Oleh karenanya, para aparat harus bisa membedakan bentuk penghinaan maupun kritik kepada presiden. "Karena sekarang itu eranya penyidik, penuntut, hakim, semuanya sama-sama terkontaminasi politik," ujar dia.

Sementara, Pengamat politik dari Lingkar Madani Indonesia (LIMA Indonesia) Ray Rangkuti menyoroti nihilnya penjelasan yang kuat tentang definisi kehormatan, harkat, dan martabat presiden/wakil presiden.

"Dalam pasal yang kabur seperti ini justru akan berpotensi melahirkan kesewenang-wenangan," ujar dia.

Selain itu, ia tidak melihat perbedaan yang jelas antara penghinaan dan penyerangan atas harkat martabat presiden/wakil presiden. Oleh karena itu, pihaknya menolak pasal penghinaan presiden lantaran aturan tersebut membuat cakupan yang terlalu luas dan definisi yang kabur.

Sementara, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, Presiden Joko Widodo lepas tangan terkait pasal penghinaan presiden dalam RUU KUHP.

"Bagi Pak Jokowi sebagai pribadi, (pasal penghinaan) masuk atau tidak (KUHP) sama saja. Sering dihina juga tak pernah mengadu/memperkarakan," kata Mahfud seperti dikutip dari kicauannya pada akun @mohmahfudmd.

Reporter: Rizky Alika