Mahfud Sebut RKUHP Tak Bisa Menunggu Kesepakatan Semua Orang

ANTARA FOTO/Abriawan Abhe/wsj.
Menkopolhukam Mahfud MD memberikan keterangan pers usai berkunjung di Gereja Katedral, Makassar, Sulawesi Selatan, Jumat (23/4/2021). Mahufd mengatakan dirinya akan mendengarkan banyak pihak dalam penyusunan RUU KUHP.
14/6/2021, 16.18 WIB

Pemerintah tengah merancang Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengatakan penyusunan RKUHP akan dilakukan dengan demokratis.

Namun, ia menilai tidak mungkin resultante diambil dari seluruh masyarakat Indonesia yang berjumlah 270 juta orang. Kesepakatan secara keseluruhan itu hampir tidak mungkin terjadi. Resultante merupakan keputusan yang dianggap mewakili kepentingan bersama yang berbeda-beda.

"Dalam konteks KUHP kami usahakan resultante demokratis di mana semua terdengar," kata dia dalam diskusi publik RUU KUHP yang disiarkan secara virtual, Senin (14/6).

Selain itu, penentuan keputusan dari seluruh pihak akan mengulur waktu hingga berpuluh-puluh tahun. Saat ini, UU KUHP pun telah berlaku selama 104 tahun dan belum pernah mengalami perubahan. "Kalau terus didiskusikan, lalu ada yang tidak setuju, kapan selesainya?," ujar Mahfud.

Oleh sebab itu, pemerintah akan menyiapkan resultante baru. Jika masyarakat tak puas atau pasal yang ada dianggap inkonstitusional, maka masih banyak jalur hukum yang bisa ditempuh.

"Ada (peninjauan kembali) di Mahkamah Konstitusi, ada legislatif review. Tidak mungkin kami menutup kemungkinan itu," kata mantan Ketua MK itu.

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej juga menilai, beleid tersebut harus segera disahkan lantaran KUHP selama ini tidak pasti.

Menurutnya, pengesahan RKUHP akan memberikan kepastian hukum di Indonesia. Sebaliknya, penundaanakan membuat warga negara terus berada dalam ketidakpastian hukum.

"Sebab kita hidup selama hampir 76 tahun dengan menggunakan Kitab UU Hukum Pidana yang tidak pasti," kata Edward 

Terlebih, sudah ada jutaan orang yang dihukum dengan KUHP yang yang berusia tua itu. Edward mengatakan  ketidakpastian itu terjadi lantaran ada dua versi terjemahan mengenai KUHP, yaitu versi Prof Moeljatno dan KUHP versi R. Soesilo.

Sebagai contoh, terjemahan Pasal 110 KUHP versi Moeljatno menyebutkan pemufakatan jahat untuk melakukan makar sebagaimana Pasal 104 sampai Pasal 108 KUHP dipidana dengan pidana yang sama dengan kejahatan yang dilakukan. "Itu berarti pidana mati," ujar dia.

Sementara, Pasal 110 KUHP versi Soesilo berbunyi, pemufakaatan jahat untuk melakukan kejahatan sebagaimana Pasal 104 sampai Pasal 108 KUHP dipidana maksimum enam tahun. "Ini perbedaan signifikan dan serius," katanya.

Untuk itu, pemerintah sedang melakukan revisi erhadap KUHP. Pemerintah pun menyusun rancangan KUHP dengan melakukan rekodifikasi atau menghimpun kembali pasal-pasal yang sempat dikeluarkan dari KUHP.

Reporter: Rizky Alika