Polemik Tes Wawasan Kebangsaan, Firli Dapat Diberhentikan dari KPK?

ANTARA FOTO/Galih Pradipta/aww.
Ketua KPK Firli Bahuri bersiap melakukan konferensi pers.
Penulis: Rizky Alika
Editor: Sorta Tobing
25/6/2021, 19.27 WIB

Polemik tes wawasan kebangsaan guna alih status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih menjadi perdebatan panjang. Peneliti senior Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar berpendapat, ada peluang Ketua KPK Firli Bahuri diberhentikan karena kasus ini.

Pemberhentian tersebut mengacu pada Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Pasal itu menyebutkan, pimpinan berhenti atau diberhentikan karena meninggal dunia, berakhir masa jabatannya, melakukan perbuatan tercela, menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan, berhalangan tetap atau secara terus menerus selama lebih dari tiga bulan tidak dapat menjalankan tugasnya, mengundurkan diri, atau dikenai sanksi berdasarkan UU ini.

"Kalau kami lihat potensinya bukan sekadar perbuatan tercela, tapi dikenakan sanksi menurut UU ini," kata Zainal dalam diskusi daring, Jumat (25/6). Namun, perlu kajian lebih lanjut terkait definisi perbuatan tercela. Dalam hukum Indonesia, perbuatan tercela kerap dilekatkan dengan perbuatan yang melanggar asusila.

Hal ini berbeda dengan hukum di Amerika Serikat. Ia mengatakan, perbuatan tercela di Negeri Abang Sam dikaitkan dengan perbuatan melakukan kebohongan publik di bawah sumpah. Sebagai contoh, DPR AS sempat menyetujui pemakzulan Presiden AS ke-42 Bill Clinton lantaran melakukan kebohongan publik.

Dalam konteks UU KPK, perbuatan tercela tersebut akan bergantung pada Dewan Pengawas KPK. "Ini tergantung Dewas. Apakah berani melebarkan makna perbuatan tercela pada berbohong atau tidak menjalankan sumpah?" ujar dia.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengatakan, Dewas belum pernah membuat keberhasilan apapun. "Karena itu, kami menunggu tindakan dari Presiden (Joko Widodo) sebagai pimpinan KPK. Sebab, revisi UU KPK mengatur KPK menjadi rumpun eksekutif," katanya.

Sebagaimana diketahui, Firli Bahuri disebut-sebut berperan kuat untuk memaksa ketentuan soal tes wawasan kebangsaan sebagai syarat alih status pegawai KPK. Proses penyusunan peraturan tentang tes tersebut dianggap janggal, dengan metode dan parameter kelulusan yang tidak jelas.

Di sisi lain, nama 75 pegawai yang tidak lolos tes santer dikabarkan sudah disusun jauh sebelum ide tes itu muncul. Namun, Firli mengatakan komisi antirasuah tidak pernah memberhentikan 75 pegawai itu. "Tidak pernah KPK memecat dan tidak pernah berpikir untuk memberhentikan dengan hormat dan tidak hormat," ujarnya di Gedung KPK, Jakarta, pada Rabu lalu.

Kinerja KPK Menurun

Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat kinerja KPK menurun pada 2020. Kinerja penindakan hanya 15 kasus atau 13% dari target sebanyak 120 kasus.

Angka tersebut jauh lebih kecil  dari tahun sebelumnya yang sebanyak 62 kasus. Melihat kinerja tersebut, ICW memberikan nilai E terhadap kinerja komisi anti-rasuah tersebut pada 2020. 

Selain itu, sebagian besar penindakan kasus korupsi yang dilakukan KPK merupakan hasil operasi tangkap tangan (OTT) sebanyak tujuh kasus. Sedangkan kasus yang baru disidik dilaporkan hanya satu kasus pada 2020.

ICW menghitung penilaian kinerja penindakan kasus korupsi berdasarkan persentase rasio penindakan kasus yang terpantau terhadap target penindakan kasus. Nilai A (sangat baik) dengan persentase kasus yang ditangani 81-100%, nilai B (baik) 61-80%, dan C (cukup) 41-80%. Kemudian nilai D (buruk) sebesar 21-40% dan E (sangat buruk) 0-20%.

Reporter: Rizky Alika