Kabar duka meninggalnya pengusaha Herman Djuhar datang dari Singapura. Herman yang menjabat Presiden Direktur PT Bogasari Flour Mills (Bogasari) dikabarkan meninggal di negeri berlambang singa pada Rabu (21/7).
Duta Besar Indonesia untuk Singapura, Suryo Pratomo, mengkonfirmasi kebenaran kabar tersebut. "Betul beliau meninggal," kata Suryo saat dihubungi Katadata.co.id, Jumat (23/7).
Herman merupakan generasi kedua dari keluarga Djuhar Sutanto, pengusaha yang mendirikan Grup Salim. Djuhar ini dikenal sebagai anggota “The Gang of Four” atau empat serangkai pengusaha yang sangat berkuasa pada era Soeharto. Djuhar, adalah anggota dari gang tersebut yang paling misterius.
Keluarga Djuhar “itu semesterius bahwa dia itu kaya”, demikian Forbes menggambarkan keluarga itu dalam sebuah laporannya pada 1995. Merujuk pada buku karangan Richard Borsuk dan Nancy CHNG “Liem Sioe Liong dan Salim Grup: Pilar Bisnis Soeharto”, gambaran itu muncul karena Forbes salah mengenali Djuhar sebagai kerabat jauh Liem Sioe Liong.
Geliat bisnis keluarga Djuhar bermula saat mantan orang satu di era Orde Baru, Presiden Soeharto, meminta perusahaan Djuhar untuk bergabung dengan Liem Sioe Liong dan mendirikan PT Waringin Kentjana pada tahun 1967. Perusahaan inilah yang menjadi cikal bakal kerajaan bisnis Salim.
Djuhar yang memiliki nama Tionghoa Liem Oen Kian merupakan sobat pertemanan Liem Sioe Liong atau Sudono Salim. Sama-sama bermarga Liem dan lahir di Fujian, China, Liem sudah menganggap Djuhar sebagai keluarganya dari kecil.
“Djuhar menjalankan peran sebagai manusia operasi yang mengurusi seluk-beluk dalam pelaksanaan proyek Salim Group. Djuhar dikenal oleh rekan-rekan sesama Hokchia sebagai sosok yang ambisius dan licin”, seperti dikuti Richard Borsuk dalam bukunya.
Djuhar yang kelahiran 19 Maret 1928 memang terbilang berselisih umur jauh dengan Sioe Liong yang kelahiran 16 Juli 1916. Bisnis Liem Sioe Liong sendiri bermula dari sebuah toko kelontong di Kudus, Jawa Tengah, seperti ditulis Metta Dharmasaputra di Koran Tempo, 31 Oktober 2002.
Djuhar sempat tergabung dalam anggota perkumpulan pedagang China yang membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia. Hal inilah yang kemudian membawa Sioe Liong ke bisnis pemasok kebutuhan tentara dari Jaman Bung Karno hingga berlanjut ke era Soeharto saat mantan presiden kedua Indonesia tersebut memegang jabatan Pangdam Diponegoro, Jawa Tengah, antara tahun 1956-1959.
Sebelum bergabung dengan “The Gang of Four”, Djuhar terlebih dahulu memiliki kongsi bisnis bernama “Four Seas”. Termasuk dalam kongsi tersebut adalah Imin Sugiono. Kongsi ini berubah nama menjadi “Five Stars’ saat Lim Chin Song yang dekat dengan salah satu ajudan Soeharto masuk ke kelompok itu. Kelompok bisnis ini menggarap komoditas serta memasuk kebutuhan TNI Angkatan Laut. Lim Chin Song membawa dua pegawai termasuk Ibrahim Risjad.
Namun, pada 1966, kongsi tersebut mulai goyah menyusul sengketa internal terkait bisnis perbankan mereka. Talian persahabatan Imin dan Djuhar bahkan harus dipertaruhkan dalam persidangan di Singapura. Koran Tempo menyebutkan Imin menggugat Djuhar senilai USD 500 juta karena dinilai nol prestasi dalam perusahaan kongsi lama mereka.
Setelah Seoharto mengusulkan agar Dhujar dan Liem membentuk satu perusahaan pada 1967, kedua pengusaha itu mengajak Risjad serta saudara sepupu Soeharto, Sudwikatmono. Sudwikatmono semula berstatus pegawai negeri namun sejak 1964 memutuskan keluar dan berjualan karung goni bekas.
Gayung bersambut, usulan Soeharto itu kemudian menguatkan pertalian sahabat dan bisnis ke empat serangkai. Sejarah kemudian menulis empat serangkai pengusaha tersebut membentuk imperium bisnis yang paling digdaya di jaman Orde Baru.
Empat pengusaha yang kemudian dikenal dengan “The Gang of Four” tersebut mampu menerbangkan Salim group dari perusahaan yang hanya bermodal Rp 600 juta menjadi lebih dari Rp 27 triliun. Tidak hanya mempekerjakan lebih dari 200 ribu karyawan lebih, imperium bisnisnya beranak pinak ke sejumlah lini bisnis usaha dari hulu ke hilir.
Semula usaha mereka bergerak di bidang perdagangan komoditas seperti cengkeh, kopi, lada, dan kopi, serta beras. Namun, bisnis mereka kemudian menggurita mulai dari perbankan (BCA), makanan (Indofood), tepung terigu (Bogasari), Semen (Indocement), mobil (Indomobil), hingga hiburan (Indosiar).
Merasa tidak cukup di dalam negeri, “The Gang of Four” kemudian merambah bisnisnya ke luar negeri dengan membangun perusahaan di China dan Singapura. Sebagai salah satu tulang punggung Salim Group, Bogasari dibangun pada 19 Mei 1969.
Seperti pepatah bahwa “tidak ada yang abadi’ pertalian empat serangkai ini menemui ujian berat saat krisis moneter menghantam Asia termasuk Indonesia. Kondisi tersebut diperburuk dengan turunnya Soeharto yang sudah lama menjadi patron bisnis mereka.
Olengnya BCA pada saat krisis merupakan salah satu potret betapa beratnya bisnis Salim Group terhantam krisis. Keluarga Djuhar pada 1999 bahkan harus merelakan 10% saham miliknya di PT Metropolitan Kentjana agar diikutsertakan dalam aset Salim yang diserahkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Salim Group harus membayar utang grup perusahaan sebesar Rp 52,7 triliun kepada BCA.
Salim Group bahkan harus merelakan kepemilikan BCA kepada Djarum Group.
Dikutip dari buku Liem Sioe Liong dan Salim Group: Pilar Bisnis Soeharto, keluarga Djuhar juga mengajukan gugatan kepada keluarga Salim melalui PT Grandwood Buana. Pada Oktober 2002, mereka mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena menilai keluarga salim tidak membayar kompensasi atas penjualan saham Indofood seperti yang dijanjikan.
Namun, kedua keluarga sepakat berdamai dan menghentikan perselisihan di bulan November.
Djuhar Sutanto meninggal di Fuzhou, China, pdda 2 Juli 2018 pada usia 90 tahun. Djuhar merupakan anggota “The Gang of Four” yang terakhir yang meninggal.
Bisnis keluarga Djuhar kini dialihkan kepada generasi keduanya Tedy, Johny, dan Herman.
Selain Bogasari, keluarga Djuhar membangun usahanya melalui First Pacific Company yang berlokasi di Hong Kong. Perusahaan tersebut merupakan anak usaha First Pacific Investment Management Ltd yang memegang sekitar 50% saham PT Indofood Sukses Makmur.