Pemerintah telah menurunkan batas atas harga tes Polymerase Chain Reaction (PCR) Covid-19 sebesar 45%. Namun, Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai ada potensi konflik kepentingan pada penetapan harga tes PCR tersebut.
Sebagaimana diketahui, Surat Edaran Nomor HK.02.02/I/2845/2021 tentang Batas Tarif Tertinggi Pemeriksaan PCR ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Abdul Kadir. Begitu pula dengan aturan lama harga tes PCR sebesar Rp 900 ribu ditetapkan oleh orang yang sama.
Peneliti ICW Wana Alamsyah mengatakan di lain sisi, Abdul Kadir juga menjabat sebagai Komisaris Utama di PT Kimia Farma Tbk. Oleh sebab itu ia menganggap hal tersebut jadi potensi konflik kepentingan.
"Kita tahu Kimia Farma juga melayani pemeriksaan PCR. Bagaimana mungkin seseorang yang menetapkan tarif PCR juga menduduki posisi Komisaris Utama?" kata Wana dalam konferensi pers virtual, Jumat (20/8).
Adapun, penetapan harga tes PCR sebesar Rp 900 ribu ditetapkan pada 5 Oktober 2020. Selanjutnya, Kemenkes baru menurunkan harga tes PCR pada 16 Agustus 2021.
Wana mengatakan penurunan harga PCR baru dilakukan selang 10 bulan kemudian lantaran ada keengganan evaluasi harga karena kebijakan ditetapkan oleh orang yang menyediakan jasa. Terlebih, potensi penerimaan dari tes PCR sangat besar.
"Ketika ada potensi konflik kepentingan, tidak ada upaya pemerintah. Ada kecenderungan normalisasi konflik kepentingan," ujar dia.
Jabatan Abdul Kadir itu diduga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik serta Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Pasal 17 UU 25/2009 berbunyi pelaksana dilarang merangkap sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha bagi pelaksana yang berasal dari lingkungan instansi pemerintah, badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah.
Dalam aturan baru, harga pemeriksaan PCR diubah menjadi Rp 495 ribu untuk wilayah Jawa-Bali dan Rp 525 ribu di luar Jawa-Bali. Dengan demikian, ada selisih harga lama dan harga baru tes PCR sebesar Rp 405 ribu.
ICW pun memperhitungkan potensi keuntungan penyedia jasa PCR. Selama periode Oktober 2020-Agustus 2021, potensi yang diraup penyedia jasa PCR mencapai Rp 10,46 triliun.
Angka ini diperoleh dari selisih harga dikali tarif pemeriksaan PCR. "Ini angka sangat besar, apalagi konteks pandemi ketika sebagian orang sulit mendapatkan pekerjaan dan mereka terpapar Covid-19 dan harus tes PCR," ujar dia.
Relawan LaporCovid-19 Amanda Tan mengatakan, mahalnya harga tes PCR itu memberikan dampak pada warga yang enggan melakukan tes PCR mandiri. "Karena mahalnya biaya tes," ujar dia.
Sementara itu, pemeriksaan PCR melalui puskesmas mengharuskan masyarakat untuk menunggu dalam waktu yang lama. Tidak hanya itu, hasil tes PCR pun tidak segera dikeluarkan secara cepat. "Ini berpotensi menghambat pelayanan kesehatan selanjutnya," katanya.
Bantahan Abdul Kadir
Dikonfirmasi terpisah, Abdul Kadir mengatakan jabatan komisaris tersebut tidak ada kaitannya dengan penetapan harga PCR. Dia mengatakan harga tes ditentukan lewat audit Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
"Tidak ada hubungannya karena saya komisaris utama baru tiga bulan. Padahal SE pertama tahun lalu. Sama sekali tidak ada hubungan," ujar dia saat dihubungi Katadata.co.id.
Ia juga menyampaikan bahwa Kimia Farma tidak memiliki laboratorium dalam jumlah besar. Untuk itu, tidak ada kepentingan untuk menguntungkan perusahaan pelat merah tersebut.
Kadir mengatakan, ia secara kebetulan bertugas sebagai Dirjen Yankes serta membuat SE. Sedangkan, rincian biaya dihitung oleh auditor negara dengan mengacu harga pasaran.
Kadir memastikan, masih ada potensi penurunan harga tes PCR. "Kami lagi usul ke pemerintah untuk pembebasan bea masuk reagen PCR, jadi kalau disetujui, harga lebih murah, pasti akan turun harganya," katanya.