Pemerintah masih menggodok Peraturan Presiden (Perpres) mengenai penerapan nilai ekonomi karbon. Namun, masih ada kendala dan tantangan dalam pengaturan implementasi perdagangan karbon tersebut, salah satunya pandemi Covid-19.
Meski demikian kebijakan ini diperlukan demi meminimalisir distorsi ekonomi pasca pandemi virus corona. Oleh sebab itu, pemerintah mencari waktu yang tepat dalam menerapkan langkah pengaturan nilai karbon.
"Semua kebijakan perlu timing yang tepat, terutama Indonesia masih fokus pemulihan pandemi. Tapi kita tidak bisa melupakan tujuan jangka panjang," kata Staf Khusus Menteri Keuangan Masyita Crystallin dalam Katadata Sustainability Action for The Future Economy (SAFE) Forum 2021 secara virtual, Senin (23/8).
Selain itu, tantangan lainnya ialah perlunya penentuan desain dan mekanisme perdagangan karbon dan pengenaan pajak karbon yang sinergis dan kompatibel dengan struktur ekonomi Indonesia. Hal ini untuk memastikan perdagangan karbon yang adil dan terjangkau.
"Untuk mengubah sesuatu, butuh investasi besar sehingga harus dipikirkan pembiayaan yang terjangkau. Mengingat negara punya tujuan lain selain lingkungan," katanya.
Kemudian, pelaksanaan carbon pricing harus disertai kebijakan pendamping. Hal ini untuk meminimalisir dampak dan mengoptimalkan manfaat ekonomi maupun lingkungan.
Selanjutnya, perlu regulasi yang kuat dan adil, sistem pemantauan dan verifikasi yang akuntabel; serta penetapan tarif pajak karbon dan penetapan cap perdagangan karbon yang efektif dan sehat.
Terkait Perpres nilai karbon, ia memastikan bakal ada dua instrumen perdagangan. Pertama, perdagangan izin emisi (emission trading system) atau membeli izin dari entitas yang kelebihan emisi kepada mereka yang kekurangan emisi.
Kedua, offset emisi atau (crediting mechanism) yaitu entitas yang memiliki kelebihan karbon bisa menjual karbon kepada entitas yang memerlukan kredit karbon.
Sementara, ada dua jenis instrumen non perdagangan, yaitu pajak karbon dan result based payment. "Pajak karbon akan secara tidak langsug menaruh floor price pada saat bursa atau pasar karbon di Indonesia sudah mulai berkembang," katanya.
Sementara, Chief Strategy Officer Star Energy Geothermal (SEG) Agus Sandy Widyanto mengatakan, pihaknya menghadapi kendala di pasar karbon internasional. Kendala pertama ialah pendaftaran carbon credit yang sangat kompleks dan berbiaya mahal.
"Bahkan dari 7 generator kami, hanya 2 yang terkualifitikasi skema karbon internasional," ujar dia. Meski begitu, 5 generator SEG akhirnya tetap tersertifikasi Renewable Energy Certificate (REC).
Kedua, harga carbon credit inetrnasional terpuruk sejak 2009 dari belasan dolar per ton menjadi US$ 1/ton. Sejak 2020, harga carbon credit pun telah pulih meski masih jauh dari acuan sebelumnya. Selanjutnya, minimnya transparansi harga di pasar karbon internasional. SEG pun hanya tergantung pada para broker untuk menelusuri harga.
"Kami harap di Indonesia kita bisa mendapatkan mekanisme bursa karbon yang berikan transparansi harga," ujar dia.