Liputan Khusus | SAFE Forum 2021

Pengembangan Industri Kesehatan, Kunci Indonesia Jadi Negara Maju

Katadata
Penulis: Doddy Rosadi - Tim Publikasi Katadata
24/8/2021, 11.08 WIB

Industri kesehatan menjadi sektor yang vital untuk dikembangkan apabila Indonesia ingin menjadi negara maju. CEO Lippo Karawaci dan Direktur Lippo Group John Riady mengatakan, saat ini pengeluaran masyarakat untuk sektor kesehatan termasuk rendah dibandingkan negara lain.

John mengatakan, pengeluaran untuk kesehatan di Indonesia hanya 3,1 persen dibandingkan Produk Domestik Bruto. Jumlah itu masih jauh di bawah Vietnam (5,6 persen), Singapura (4,7 persen), Filipina (4,6 persen), serta Malaysia dan Thailand (3,9 persen).

Menurut John, dalam satu dekade ke depan, pertumbuhan pengeluaran untuk kesehatan akan meningkat 19 persen per tahun serta peningkatan pengeluaran dibandingkan PDB naik 2,4 kali lipat.

Faktor inilah yang membuat Lippo Group sejak 1992 masuk ke industri kesehatan antara lain dengan membangun rumah sakit.

“RS pertama di Lippo Karawaci dibangun atas kerja sama dengan perusahaan dari Singappura. Kami punya visi bagaimana dapat tingatkan healthtcare, saat itu RS di Lipo Karawaci menjadi RS pertama yang dapat akreditasi JCI, sekarang kita tumbuh dan kelola 40 RS di 27 provinsi. Jadi in merupakan sebuah privillege bagi Lippo Group,” kata John saat menjadi pembicara di webinar SAFE Forum 2021 yang diselenggatakan Katadata, Selasa (24/8/2021) dengan tema Investing for the Future.

John menambahkan, saat ini jumlah ketersedian tempat tidur di rumah sakit juga sangat sedikit yaitu 1,1 ranjang untuk 1.000 orang. Kata John, hal itu yang menjadi salah satu pemicu Lippo Group untuk membangun rumah sakit swasta di sejumlah daerah.

Permasalahan lain di industri kesehatan, kata John, yang menjadi “bottleneck” adalah kurangnya jumlah dokter. Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), jumlah dokter di Indonesia dinilai paling rendah di dunia. Hal ini yang menghambat akses masyarakat terhadap dunia kesehatan.

Ketersediaan dokter hanya 3,8 orang per 10 ribu penduduk Indonesia. Jumlah itu di bawah jumlah dokter di Inggris (28,1 dokter), Amerika Serikat (25,9 dokter), Korea Selatan (23,7 dokter), Singapura (23,1 dokter), Malaysia (15,1 dokter), rata-rata dunia (15,0 dokter), dan Thailand (8,1 dokter). Indonesia hanya 3,8 dokter.

John menambahkan, masalah kekurangan dokter tidak bisa diselesaikan dalam jangka pendek. Karena, hal ini harus melibatkan sejumlah pihak salah satunya perguruan tinggi.

Namun, solusi jangka pendek yang bisa diambil adalah dengan mengizinkan dokter asing untuk praktik di Indonesia. Kata John, omnibus law yang dibuat pemerintah membuka pintu bagi dokter asing untuk masuk ke Indonesia.

“Saya pikir ini cara yang bisa ditempuh untuk mengatasi kekurangan dokter sambil menanti munculnya dokter-dokter baru. Dokter asing ini bisa memberikan alih ilmu pengetahuan kepada dokter lokal. Jadi, jangan dianggap kehadiran dokter asing ini menjadi penghambat bagi dokter-dokter lokal,” jelasnya.

John menilai, dokter kelas satu di Indonesia tidak kalah kualitasnya dengan dokter nomor satu di negara lain. Yang menjadi permasalahan, kata John, adalah second best atau dokter lapis kedua.

“Jadi, ada kesenjangan yang cukup luas antara dokter top di Indonesia dengan yang dibawahnnya. Ini bisa terlihat kalau kita ke luar pulau Jawa di mana hal itu sangat terasa. Jadi, ini menjadi tugas perguruan tinggu bagaimana mendidik dokter lebih baik lagi dan juga panggilan kepada WNI yang belajar kedokteran di luar negeri untuk kembali ke Indonesia.

John menambahkan, ekosistem kedokteran di Indonesia harus diperkuat dengan cara memanggil kembaloi WNI yang belajar kedokteran di luar negerui untuk kembali ke Indonesia serta alih ilmu pengetahuan yang dilakukan dokter asing kepada dokter lokal.