Liputan Khusus | SAFE Forum 2021

Penguatan Intervensi Negara Dibutuhkan demi Turunkan Angka Stunting

ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi/rwa.
Kader Posyandu menimbang berat badan balita di Posyandu Kutilang, Lingkungan Tempit, Kelurahan Ampenan Tengah, NTB, Kamis, (8/4/2021).
25/8/2021, 18.15 WIB

Pemerintah telah menetapkan stunting sebagai isu prioritas nasional. Bahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta agar angka stunting di Indonesia dapat diturunkan menjadi 14% pada tahun 2024.

Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama, sehingga mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada anak yakni tinggi badan anak lebih rendah atau pendek (kerdil) dari standar usianya.

Deputi Bidang Pengendalian Penduduk BKKBN Republik Indonesia Dwi Listyawardani menilai perlu terobosan baru agar percepatan penurunan angka stunting dapat terealisasi. Artinya bahwa sasaran yang berisiko memunculkan angka stunting harus segera diintervensi.

BKKBN telah mengidentifikasi beberapa pihak yang berpotensi memunculkan angka stunting. Di antaranya seperti calon pengantin, ibu hamil, dan anak balita.

"Sehingga kita bisa melakukan pendampingan ke mereka. Intervensi langsung ke sasaran tersebut. Tentunya diawali pemetaan tentang sasaran yang dimaksud tadi," ujarnya dalam diskusi Katadata SAFE 2021, membahas tema 'Nutrition for Next Generation', Rabu (25/8).

Menurut dia penyebab terjadinya stunting tidak hanya bisa dilihat dari faktor gizi saja. Namun faktor seperti perilaku juga banyak memunculkan kasus dari stunting itu sendiri.

Setidaknya faktor spesifik itu mempengaruhi 30%. Sementara faktor yang termasuk di dalamnya seperti perilaku dan lingkungan sehat itu mempengaruhi 70% dari stunting. Simak databoks berikut:

Head of Department of Nutrition, Faculty of Medicine, Universitas Indonesia Nurul Ratna Mutu Manikam menilai di era pandemi sekarang ini banyak sekali pihak yang menunda menjalani imunisasi yang telah ditetapkan pemerintah. Hal ini karena berbagai faktor, seperti takut risiko tertular hingga kesulitan menuju ke fasilitas kesehatan.

Di sisi lain, masyarakat juga lebih memilih layanan telekonsultasi. Padahal kalau berbicara mengenai gizi buruk atau stunting harus melakukan prinsip secara lengkap.

Seperti melihat bagaimana perilaku orang tua. Kemudian melihat banyaknya angka pengangguran karena PHK di masyarakat, sehingga berpengaruh pada daya beli yang sangat penting untuk memenuhi keanekaragaman pangan yang dapat diperoleh seorang anak.

"Tadinya bisa makan protein hewani yang kualitasnya baik kemudian jadi menurunkan kualitas makanannya karena harus berbagi," katanya.

Kasubdit Penanggulangan, Masalah Gizi, Direktorat Gizi Masyarakat, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengatakan percepatan penurunan angka stunting diperlukan penguatan intervensi. Misalnya seperti intervensi spesifik yang menjadi ranahnya kesehatan dan intervensi sensitif yang ada berada di luar ranah kesehatan.

Menurut dia perlu kolaborasi untuk berhasil menurunkan angka stunting. Karena kasus stunting sendiri bukan hanya persoalan asupan gizi namun juga bagaimana pola asuh, pelayanan kesehatan, air bersih, pendampingan keluarga, dan imunisasi.

Adapun dampak dari stunting atau kurang gizi pada usia balita dapat menyebabkan gangguan metabolik saat dewasa. Dan hal ini meningkatkan terjadinya risiko penyakit tidak menular seperti jantung, obesitas dan kanker.

"Semua kami siapkan dalam pengurangan intervensi ini harapannya dapat mempercepat penurunan stunting," kata dia.

Reporter: Verda Nano Setiawan