Kasus Munir Akan Kedaluwarsa, LBH Desak Status Pelanggaran HAM Berat

ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto/aww.
Pegiat HAM mengenakan topeng wajah Munir saat melakukan Aksi Kamisan di depan Balaikota Malang, Jawa Timur, Kamis (12/3/2020).
6/9/2021, 18.46 WIB

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mendesak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas Ham) menetapkan pembunuhan aktivis Munir Said Thalib pada 2004 silam sebagai kasus pelanggaran HAM berat.

Kasus Munir yang tewas diracun pada 7 September 2004 silam akan tepat berusia 17 tahun di tahun ini. Direktur LBH Jakarta Arif Maulana mengatakan penetapan status ini akan memastikan keberlanjutan penyelidikan. Pasalnya, kasus Munir akan kadaluarsa secara hukum pidana di tahun depan sehingga penyelidikannya tidak bisa dilanjutkan. Hal ini diatur dalam Pasal 78 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

“Kasus Munir telah memenuhi syarat [kasus pelanggaran HAM berat] sebagaimana ketentuan Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000, yang mengatur elemen-elemen kejahatan terhadap kemanusiaan,” kata Arif dalam audiensi yang dilakukan oleh Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM) terhadap Komnas HAM, Senin (6/9).

Sejak pertama kali disidangkan, kasus Munir memang dianggap sebagai kasus pidana pembunuhan. Bagi pelaku kejahatan yang diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, terdapat rentang waktu 18 tahun bagi kasus tersebut untuk dituntaskan sebelum kadaluarsa.

Sementara itu, ketentuan kadaluarsa tidak berlaku untuk kasus HAM berat. Dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM telah diatur bahwa pembunuhan merupakan salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil.

Deputi Direktur Amnesty International Wirya Adiwena mengatakan penuntasan kasus Munir bisa mencerminkan komitmen pemerintah terhadap penegakan HAM. Ia berpandangan, penyelesaian kasus pembunuhan terhadap aktivis HAM tersebut memiliki makna yang begitu luas bagi Indonesia. Proses penuntasan kasus ini telah berlangsung lintas pemerintahan. Mengingat kasus Munir telah bergulir sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga kini telah memasuki periode kedua Presiden Joko Widodo.

Menanggapi hal tersebut, anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Sandrayati Moniaga menyatakan instansinya belum satu suara dalam soal penetapan kasus Munir sebagai pelanggaran HAM Berat. 

“Dari diskusi yang berkembang, masih ada yang melihat unsur sistematisnya belum terpenuhi,” katanya, Senin (6/9). 

Ia mengatakan masih ada anggota Komnas HAM yang melihat bahwa kasus pembunuhan Munir sulit untuk dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat. Salah satu pertimbangannya karena jumlah korban yang berjumlah satu orang yakni Munir itu sendiri. Kendati demikian, ada juga yang berpendapat kasus ini bisa dimasukkan sebagai pelanggaran HAM berat karena melibatkan serangan sistematis terhadap pembela HAM. 

Diskusi mendalam terus dilakukan oleh tujuh anggota Komnas HAM. Sandrayati mengatakan, seluruh komisioner selalu berupaya untuk mendapatkan suara bulat sebelum mengambil keputusan, dalam hal ini menetapkan kasus pembunuhan Munir sebagai kasus pelanggaran HAM berat.

“Harus ada keputusan bulat di tingkat paripurna yang sepakat bahwa memang ada dugaan pelanggaran HAM berat,” kata Sandra menegaskan.

Proses penyelidikan kasus Munir sempat menyeret nama pilot Garuda Indonesia Pollycarpus Budihari Prijanto yang akhirnya divonis 14 tahun penjara. Pada 28 November 2014 ia dibebaskan bersyarat setelah menjalani hukuman 8 tahun penjara. Pollycarpus sempat bergabung dengan Partai Berkarya pimpinan Tommy Soeharto. Ia akhirnya meninggal pada 17 Oktober 2020 akibat virus Covid-19.