Direktur Ortos Holding Ltd. Edward Seky Soeryadjaya ditetapkan sebagai tersangka baru dalam kasus PT Asabri. Sebelum tersangkut kasus Asabri, Edward sudah lebih dulu divonis 15 tahun penjara dalam kasus dana pensiun PT Pertamina. Putra sulung pendiri PT Astra Internasional ini tengah menjalani hukuman di Lapas Kelas II A Salemba, Jakarta Pusat.
Edward lahir di Amsterdam pada 21 Mei 1948 dari pasangan William Soeryadjaya dan Lili Soeryadjaya. William saat itu sedang menemani adiknya Kian Tie yang mendapatkan beasiswa di Belanda. Setelah tiga tahun menetap di Belanda, William dan keluarganya akhirnya kembali ke Indonesia pada 1949. Keluarga Soeryadjaya jatuh bangun membangun bisnis saat baru kembali ke Tanah Air. Sampai akhirnya William mendirikan PT Astra International pada 1957, perusahaan yang mengharumkan namanya dalam percaturan bisnis.
Sebagai anak tertua, Edward memikul beban moral untuk menyamai kesuksesan ayahnya. Namun, ia memilih jalur yang berbeda. Jika William dikenal sebagai pengusaha otomotif ternama, Edward berupaya membangun kerajaan bisnisnya melalui sektor perbankan. Edward meninggalkan posisinya sebagai Direktur PT Astra Graphia dan mendirikan Summa International Ltd. pada 1979.
Edward menjalankan bisnisnya dengan sangat agresif. Ia tidak segan-segan menggelontorkan triliunan rupiah untuk menggeber ekspansi. Pada 1988, perusahaannya mengakuisisi Bank Agung Asia yang kelak berganti nama menjadi Bank Summa. Saat itu sejatinya menjadi momen emas bagi industri perbankan. Pemerintah Orde Baru meluncurkan Paket Kebijaksanaan Oktober 1988 yang memangkas habis syarat-syarat pendirian bank. Hanya dengan modal Rp 10 miliar, siapapun bisa mendirikan bank baru. Industri perbankan langsung bergeliat, dari hanya 65 bank menjadi lebih dari 200 bank setelah deregulasi dirilis.
Sayangnya, upaya Edward tidak berjalan lancar. Kombinasi antara manajemen yang buruk, liberalisasi perbankan, dan persaingan bisnis membuat Bank Summa tersungkur. Bank Summa terjerat kredit macet hingga Rp 1,2 triliun dan utang senilai Rp 500 miliar. Pemerintah Orde Baru bertindak cepat. Pada 14 Desember 1992, Bank Summa dilikuidasi. Kasus ini menyita perhatian publik kala itu. Bank Summa menjadi bank umum swasta pertama yang dibredel pemerintah.
Demi menyelamatkan nama keluarga, William Soeryadjaya sampai harus melepas 100 juta lembar saham Astra untuk membantu Bank Summa menyelesaikan kewajiban kepada nasabah. Edwin Soeryadjaya, adik bungsu Edward, menceritakan itu adalah masa-masa paling sulit dalam keluarganya.
“Salah satu modal utama yang saya warisi dari ayah saya itu nama baik. Kita tidak pernah menipu orang, waktu kesulitan setelah jual Astra pun masih banyak hutang-hutang yang belum bisa terbayar," kata Edwin di acara Indonesia Economic Ideation, Januari 2021 silam.
Proyek Monorail
Gagal membangun bisnis perbankan, Edward lantas mendirikan Ortus Holding Limited. Grup ini bergerak di bidang investasi dan manajemen, persis seperti Grup Saratoga milik Edwin Soeryadjaya. Sayangnya, kebijakan investasi Ortus banyak yang salah langkah.
Pada April 2013, Ortus melunasi utang PT Jakarta Monorail dan menjadi pemegang saham mayoritas di perusahaan tersebut. Ini langkah yang berani sebab proyek monorel Jakarta sudah mangkrak bertahun-tahun sejak pemancangan tiang pertama resmi dilakukan oleh Presiden Megawati pada 2004.
Angin segar proyek monorel kembali berhembus pada 2013. Kala itu, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo melakukan peletakan batu pertama pembangunan monorel di Tugu 66, Rasuna Said. Edward Soeryadjaya juga hadir dalam peristiwa itu. Sayangnya, momen itu cuma jadi peristiwa simbolis belaka.
Ketidakpastian proyek membuat Gubernur DKI selanjutnya, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menyetop pembangunan monorel. Kala itu, PT Jakarta Monorail sempat sesumbar sudah memiliki dana Rp 25 triliun untuk melanjutkan proyek. Namun, saat Ahok meminta jaminan bank 5% dari nilai proyek, PT JM tidak kunjung memberikannya. Pemkot DKI akhirnya resmi memutus kontrak dengan PT Jakarta Monorail. Dengan demikian, ambisi Edward lewat Ortus Holding kembali pupus.
Kiprah Ortus dengan PT Sugih Energy Tbk. bahkan jauh lebih kelam. Pada medio 2014, Edward menemui Presiden Direktur Dana Pensiun (Dapen) Pertamina Muhammad Helmi Kamal Lubis. Keduanya membicarakan kesepakatan bisnis agar Dapen Pertamina membeli saham emiten berkode SUGI itu. Sebanyak Rp 610 miliar pun disalurkan melalui PT Millenium Danatama Sekuritas ke saham SUGI. Edward rupanya main curang. Uang itu justru digunakan untuk menyelesaikan pembayaran kewajiban pinjaman Ortus Holding. Gara-gara aksi itulah Edward divonis 15 tahun penjara dan kini mendekam di Rutan Salemba.
Belakangan, terungkap kabar tawaran untuk membeli saham SUGI rupanya juga diberikan kepada Direksi PT Asabri. Kasus ini bahkan terjadi sebelum Edward mendatangi petinggi Dapen Pertamina. Kepala Penerangan Hukum Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak menjelaskan Edward Soeryadjaya menemui Direksi Asabri pada 2012.
Edward pun bersekongkol dengan Komisaris PT Millenium Danatama Sekuritas Bety Halim untuk menjual saham SUGI. Bety sukses melakukan transaksi di antara nominee sendiri hingga berhasil menaikkan harga saham PT Sugih Energy Tbk. Sebagai imbalan, Edward memberikan 250 miliar lembar SUGI kepada Bety. Setelah harganya naik, Bety pun menjual saham SUGI kepada PT Asabri. Namun, karena perusahan ini tidak memiliki fundamental yang baik dan sahamnya tidak likuid, harga saham SUGI akhirnya anjlok.
"Bahwa sisa saham SUGI yang masih ada di portofolio saham PT Asabri kemudian dijual di bawah perolehan (cut loss) pada PT Tricore Kapital Sarana," ujar Leonard, Rabu (15/9).
Atas dasar inilah Kejaksaan Agung menetapkan Edward Soeryadjaya dan Bety Halim menjadi tersangka. Edward yang kini memasuki usia 73 tahun harus menghadapi dua kasus sekaligus. Lahir dari keluarga konglomerat, Edward rupanya harus menghabiskan hidupnya menjadi pesakitan.