Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin tersenyum sumringah. Tepat disampingnya, miliarder Jack Ma juga tidak kalah antusias. Momen langka itu terekam pada medio September 2018. Pendiri Alibaba terbang ke Palembang untuk menyaksikan pertandingan Timnas sepakbola wanita antara Cina dan Jepang di ajang Asian Games.
Pertemuan Alex dan Jack Ma jadi penutup manis di penghujung karir Alex Noerdin sebagai orang nomor satu di Sumsel. Sekira dua pekan setelahnya, politisi Partai Golkar ini lengser setelah 10 tahun jadi pemimpin. Pun demikian, hasrat politik Alex tidak luntur. Ia maju di Pileg 2019 dan melenggang mulus ke Senayan. Ia bahkan sempat menjadi Wakil Ketua Komisi VII DPR, meski akhirnya digantikan oleh koleganya Maman Abdurahman pada Juni 2021.
Partai Golkar sendiri beralasan rotasi ini cuma untuk penyegaran dan biasa dilakukan. Apapun alasan sebenarnya, karir Alex seketika meredup. Ia memang masih jadi anggota Komisi VII DPR. Namun, namanya mulai dikait-kaitkan ke sejumlah kasus korupsi. Kejaksaan Agung akhirnya menetapkan Alex sebagai tersangka di kasus BUMD pada 16 September 2021. Ia dan Direktur Perusahaan Daerah Pertambangan dan Energi (PDPDE) Sumsel Muddai Madang diduga mengeruk alokasi gas negara melalui perusahaan yang dibentuknya sendiri.
Hanya enam hari kemudian, duo Alex dan Muddai lagi-lagi menjadi tersangka dalam kasus korupsi yang berbeda. Keduanya diduga bersekongkol untuk mengalirkan dana hibah pembangunan Masjid Raya Sriwijaya Palembang. Kabarnya, Alex mengantongi Rp 2,4 miliar dari total anggaran Rp 130 miliar yang disediakan Pemerintah Provinsi.
Alex Noerdin lahir di Palembang pada 9 September 1950. Ayahnya, Noerdin Pandji merupakan seorang veteran zaman kemerdekaan. Pandji awalnya bergabung dengan tentara sukarela Jepang, tetapi berbalik menjadi pembela Republik di tahun-tahun awal kemerdekaan. Selepas jadi tentara, Pandji masuk gelanggang politik. Ia tercatat pernah memimpin DPRD Sumsel pada 1966.
Lahir dari keluarga pejuang, Alex Noerdin justru mengambil jalan politik. Ia membangun karirnya dari bawah. Mula-mula, Alex jadi pegawai negeri di Bappeda Sumsel pada 1980-an. Ia memilih Golkar sebagai kendaraan politiknya. Karirnya moncer dengan cepat.
Perubahan besar terjadi pasca era reformasi. Alex Noerdin memenangi Pilkada Musi Banyuasin (Muba) pada 2001. Kala itu, Alex dianggap sukses menjadi Bupati. Programnya-programnya sangat populis. Ia misalnya, menyediakan sekolah gratis bagi anak-anak di Muba. Ia pun menang mudah pada periode Pilkada selanjutnya.
Sukses menjinakkan Kabupaten Muba, hasrat politik Alex tak terbendung. Belum selesai jadi Bupati dua periode, ia lantas bertarung di Pilkada Sumsel pada 2008. Popularitas mengantarkan Alex jadi Gubernur hingga dua periode (2008-2018).
“Alex Noerdin adalah sosok kontroversial. Kebijakannya banyak yang populis, tetapi tidak sedikit juga yang elitis,” ujar pengamat politik Sumsel Bagindo Togar, kepada Katadata, Kamis (23/9).
Alex pernah menjajal tantangan baru pada 2012. Kala itu, ia coba-coba ikut bersaing di Pilkada DKI Jakarta. Namun, mesin politiknya masih terlalu lemah. Alex Noerdin dan pasangannya Nono Sampono kalah telak. Alex pun balik kanan ke Palembang dan mencalonkan diri sebagai Gubernur Sumatera Selatan yang sukses ia menangi.
Seperti banyak pemimpin lain, Alex juga tergoda membangun dinasti politiknya sendiri. Urusan itu ia serahkan kepada putranya, Dodi Reza Alex Noerdin. Ia kini menjadi Bupati Musi Banyuasin yang juga pernah dijabat ayahnya. Dodi juga orang nomor satu di Partai Golkar Sumsel. Tidak dipungkiri, nama besar Noerdin yang disandangnya ikut mengerek popularitas Dodi. Dodi pernah maju di Pilkada Sumsel 2019, tetapi gagal. Ia digadang-gadang kembali bernafsu untuk menjadi Gubernur Sumsel di Pilkada 2024 mendatang.
Pengamat politik Sumsel Bagindo Togar mengatakan peluang Dodi meneruskan jejak pendahulunya di kancah politik tingkat provinsi semakin berat dengan kasus Alex. Apalagi menurutnya, selama ini Dodi masih sangat terpengaruh oleh nama besar Alex baik di lingkup elit politik. Dodi harus menunjukkan kinerjanya sebagai Bupati Muba jika ingin menjadi Gubernur.
“Tugas pertamanya adalah mengendalikan Partai Golkar yang saat ini diterpa gelombang besar,” ujarnya kepada Katadata, Kamis (23/9).
Bagindo mengibaratkan Dodi sebagai nahkoda yang mengendalikan kapal besar di tengah gelombang lautan. Jika gagal membawa kapal ke tempat aman, bukan tidak mungkin awal kapal akan meninggalkannya. “Dodi harus lebih memperhatikan kebijakan-kebijakannya sebagai Bupati Muba,” tegasnya.
Penyumbang Bahan: Mela Syaharani