Banyak Sekolah Belum PTM, Nadiem Khawatirkan Learning Loss pada Siswa

ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/rwa.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim membantah kabar bahwa 2,8% sekolah yang menyelenggarakan PTM menjadi kluster Covid-19.
Penulis: Agustiyanti
27/9/2021, 22.15 WIB

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim menyebut masih banyak sekolah yang belum menggelar Pembelajaran Tatap Muka (PTM) meski sebenarnya sudah siap melaksanakannya. Ia khawatir banyaknya sekolah yang belum menggelar PTM akan berpengaruh pada hilangnya kemapuan akademi atau learning loss pada sebagian besar siswa.

"Hanya 40% yang menggelar PTM dari sekolah yang seharusnya dapat melakukan PTM. Jadi ada 60% sekolah yang sebenarnya sudah boleh melakukan tetapi belum," kata Nadiem dalam konferensi pers hasil ratas PPKM, dipantau virtual dari Jakarta pada Senin (27/9).

Kekhawatiran Nadiem itu didasari bahwa data Bank Dunia dan berbagai riset yang melaporkan adanya potensi learning loss atau kemunduran proses akademik lantaran masih banyak dilakukannya pembelajaran daring.  Nadiem secara khusus menyoroti pentingnya pembelajaran secara langsung, terutama bagi anak-anak di tingkat pendidikan anak usia dini (PAUD) dan sekolah dasar (SD).

"Bahwa kalau sekolah-sekolah ini tidak dibuka, dampaknya bisa permanen. Jadi ini merupakan suatu hal yang lebih mencemaskan buat kami adalah seberapa lama anak-anak sudah melaksanakan pembelajaran jarak jauh yang jauh di bawah efektivitas sekolah tatap muka,"  katanya.

Bank Dunia dalam riset yang dirilis tahun lalu memperkirakan kegiatan belajar daring atau online dapat mempengaruhi pendapatan siswa di masa depan. Rata-rata pendapatan siswa di wilayah Asia Timur dan Pasifik berpotensi hilang US$ 865 atau setara Rp 12,72 juta per tahun saat bekerja.

"Ini setara dengan pengurangan, rata-rata sebesar empat persen dari pendapatan yang diharapkan per tahun jika pandemi Covid-19 tak terjadi," kata Bank Dunia dalam Laporan untuk Kawasan Asia Timur dan Pasifik edisi Oktober 2020.

Bank Dunia menghitung potensi tersebut menggunakan data paritas daya beli atau purchasing power parity (PPP) negara-negara di kawasan Asia Timur dan Pasifik pada 2017 sebagai dasar perhitungan. Para siswa di negara berpendapatan tinggi kawasan ini akan menghadapi potensi pengurangan pendapatan paling tinggi mencapai US$ 2.000 per tahun.

Di Tiongkok dan Negara ASEAN-5 (Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura, dan FIlipina), hilangnya waktu sekolah akibat belajar online mencaoai 0,8%, sedangkan di Asia Timur sebesar 0,7 %, dan 0,4% di negara-negara Kepulauan Pasifik yang sebagian besar tidak menutup sekolah. 

Dampak buruk dari krisis Covid-19 terhadap SDM diperkirakan lebih besar pada masyarakat miskin. Rumah tangga miskinkurang memiliki akses pada teknologi seluler yang memungkinkan pembelajaran jarak jauh selama periode penutupan sekolah.

Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) memperkirakan penutupan sekolah akibat pandemi virus corona Covid-19 membuat banyak siswa di Indonesia kehilangan kesempatan belajar (learning losses). Ini tecermin dari proyeksi berkurangnya waktu belajar siswa di sekolah melalui indikator Learning-Adjusted Years of Schooling (LAYS).

Berdasarkan Human Capital Index 2020, Indonesia memiliki LAYS selama 7,83 tahun. Akibat penutupan sekolah saat pandemi, LAYS di Indonesia diperkirakan berkurang rata-rata sebesar 0,33 tahun menjadi 7,5 tahun dalam skenario menengah.

Adapun Nadiem membantah kabar bahwa 2,8% sekolah yang menyelenggarakan PTM menjadi kluster Covid-19. Itu, menurut dia, adalah data kumulatif selama pandemi Covid-19, bukan selama sebulan terakhir saat pelaksanaan PTM. 

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mencatat, sebanyak 1.299 sekolah menjadi klaster virus Covid-19 hingga 22 September 2021 pukul 09.45 WIB. Dari jumlah tersebut, ada 7.285 pendidik dan 15.655 siswa yang terinfeksi corona.

Klaster penularan corona terbanyak berada di jenjang Sekolah Dasar (SD), yakni 584 unit. Jumlah pendidik SD yang terkena corona sebanyak 3.174 orang. Sementara, ada 7.144 siswa SD yang terpapar virus tersebut. 

Sebanyak 250 klaster corona berada di tingkat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD),  243 Sekolah Menengah Pertama (SMP) turut, 107 Sekolah Menengah Atas (SMA), 70 Sekolah Menengah Kejuruan, dan  15 klaster corona yang berada di tingkat Sekolah Luar Biasa (SLB). Sebanyak 131 pendidik dan 112 siswa SLB telah terpapar corona.

Nadiem menyebut data tersebut mengandung banyak kesalahan sehingga tidak dapat dilihat sebagai tolak ukur. Pemerintah rencananya akan menggelar rendom sampling terhadap sekolah-sekolah yang menggelar PTM. Hasil random sampling akan digunakan untuk menentukan pelaksanaan PTM di masing-masing sekolah.