Amnesti Saiful Mahdi Jadi Harapan Baru Penanganan Kasus UU ITE

Katadata
Dosen Universitas Syiah Kuala bersama dengan para pendukungnya. Dok: Safenet.
7/10/2021, 19.26 WIB

DPR akhirnya memberikan persetujuan atas amnesti kepada Dosen Universitas Syiah Kuala Saiful Mahdi yang sebelumnya sudah diajukan oleh Presiden Joko Widodo. Momen ini sekaligus menjadi alarm agar aparat lebih profesional dalam menangani kasus aduan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). 

Dalam Rapat Paripurna, Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar menyampaikan bahwa pimpinan parlemen telah menerima Surat Presiden tertanggal 29 September 2021 soal amnesti Saiful Mahdi. Dosen Unsyiah ini sebelumnya dijatuhi hukuman 3 bulan penjara dan denda Rp 10 juta oleh Pengadilan Negeri Banda Aceh. Ia diangap bersalah setelah mengkritik proses penerimaan CPNS di lingkup universitas. 

"Apakah permintaan amnesti tersebut sebagaimana surpres dapat kita setujui?" tanya Cak Imin, Kamis (7/10).

“Setuju,” jawab anggota DPR, kompak. 

Selanjutnya, DPR akan berkirim surat resmi kepada Istana atas persetujuan tersebut. Ketua Paguyuban Korban UU ITE (Paku ITE) mengatakan amnesti ini menjadi harapan agar Kepolisian dan Kejaksaan bisa lebih profesional dalam menangani kasus UU ITE. Dalam praktiknya,  masih banyak oknum-oknum baik di Kepolisian maupun di Kejaksaan yang mengindahkan instruksi dari presiden.

Ia mengambil contoh, kasus Prita Mulyasari yang berkonflik dengan RS Omni Internasional akhirnya dibebaskan setelah mendapatkan dukungan publik. Pemerintah dan DPR saat itu bahkan merevisi UU ITE pada 2016. Namun, kasus-kasus lainnya kembali berulang. Salah satunya menimpa Stella Monica, salah satu pelanggan di klinik kecantikan di Surabaya. 

Meski demikian, Arsyad tetap mengapresiasi sikap progresif DPR dan Menkopolhukam Mahfud MD yang membantu membebaskan Saiful Mahdi. Arsyad juga mendorong parlemen agar segera melakukan revisi terhadap pasal-pasal bermasalah dalam UU ITE.  Pasalnya, selama baik Undang-Undang maupun pasal bermasalah tersebut masih ada maka tindakan kriminalisasi masih memungkinkan untuk dilakukan.

"Kita ambil contoh di Baubau ada mahasiswa yang dilaporkan karena mencoba melakukan kajian mengenai dugaan korupsi Walikota Baubau," ujar Arsyad.

Lebih lanjut Arsyad menjelaskan bahwa UU ITE kerap digunakan oleh tiga klaster yaitu klaster pejabat baik negara maupun daerah, klaster pemodal atau pihak yang memiliki uang dan klaster oknum penegak hukum. Menurutnya oknum penegak hukum adalah klaster yang selalu menjadi jembatan dari kedua klaster sebelumnya agar apa yang dituntut dapat terealisasi.

Reporter: Nuhansa Mikrefin