Kantor Staf Presiden (KSP) berharap Polri membuka ulang proses penyelidikan kasus tindak perkosaan dan kekerasan seksual yang dialami tiga kakak beradik di Kabupten Luwu Timur, Sulawesi Selatan. KSP menyatakan Presiden Joko Widodo sangat tegas dan tak menoleransi predator seksual anak.
“Karena itulah pada 7 Desember 2020 Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Pemerintah No 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak,” ujar Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardani dalam keterangan pers, Jumat (9/10).
Kasus kekerasan seksual yang dialami tiga kakak beradik berusia di bawah 10 tahun oleh terduga ayah kandungnya dimuat di beberapa media massa pada Jumat (8/10). Kasus ini pertama kali diungkap dalam laporan yang ditulis oleh situs media Project Multatuli.
Namun, sejak kasus ini diungkap, Project Multatuli mengalami serangan media siber, sehingga sebagai bentuk solidaritas, tulisan lengkap terkait kasus ini dimuat oleh sejumlah media.
Dalam laporan tersebut, ibu dari ketiga anak tersebut sempat melaporkan perkaranya pada 2019 ke Polres Luwu Timur. Namun, alihalih diproses, penyelidikan kasus dihentikan dalam dua bulan sejak dilaporkan dengan alasan tak cukup barang bukti. Sang ibu yang melaporkan bahkan diminta menjalani pemeriksaan psikologis.
Jaleswari meyatakan, peristiwa perkosaan dan kekerasan seksual kepada anak ini melukai nurani dan rasa keadilan masyarkat. Ia menjelaskan, dalam rapat terbatas tentang Penanganan Kasus Kekerasan kepada anak pada 9 Januari 2000, Presiden Jokowi memberi arahan agar kasus kekerasan terhadap anak ditindaklanjuti secepat-cepatnya.
Ia mengatakan, Presiden Jokowi juga menginginkan agar pelaku kekerasan terhadap anak diberikan hukuman yang bisa membuatnya jera, terutama terkait dengan kasus pedofilia dan kekerasan seksual anak. “Perkosaan dan kekerasan seksual terhadap anak tindakan yang keji. Tindakan tersebut tidak bisa diterima oleh akal budi dan nurani kemanusiaan kita,” ujarnya.
Jaleswari menegaskan, suara korban harus didengarkan dan perhatikan dengan seksama meski adalah anak-anak. “Termasuk suara Ibu para korban. Bayangkan saja mereka adalah anak-anak kita sendiri” kata Jaleswari.
Ia pun berharap Kapolri dapat memerintahkan jajarannya untuk membuka kasus tersebut jika ditemukan kejanggalan dan kesalahan dalam penyelidikan oleh Polres Luwu Timur atau ditemukannya bukti baru sebagaimana disampaikan oleh Ibu korban dan LBH Makassar.
“Kami berharap Kapolri bisa memerintahkan jajarannya untuk membuka kembali kasus tersebut,” ujar Jaleswari.
Ia juga menekankan, kasus perkosaan dan kekerasan seksual pada anak serta penghentian penyelidikan dengan alasan tidak adanya bukti ini semakin memperkuat urgensi pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. RUU ini akan mengandung norma khusus terkait tindak pidana kekerasan seksual.