AJI: Nobel Perdamaian Bagi Jurnalis Jadi Harapan Baru Kebebasan Pers
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menilai keputusan Komite memberikan penghargaan Nobel Perdamaian kepada Maria Ressa dan Dmitry Muratov menjadi harapan bagi bagi kebebasan pers dan demokrasi.
Maria Ressa merupakan CEO Rappler, media asal Filipina yang menjadi penantang utama Presiden Rodrigo Duterte. Adapun Dmitry Muratov adalah Pemimpin Redaksi Novaya Gazeta, koran paling independen di Rusia saat ini.
Sekjen AJI Ika Ningtyas mengungkapkan kemenangan mereka berdua juga bermakna besar bagi Indonesia. Menurutnya, ini juga menjadi kemenangan media dan jurnalis independen di tengah meningkatnya tren otoritarianisme di banyak negara. Ia menegaskan pembungkaman pers tidak hanya terjadi di Filipina, tetapi juga masih sering ditemukan di Indonesia.
“Misalnya dengan kriminalisasi jurnalis kritis menggunakan UU Informasi dan Transaksi Elektronik,” ujarnya kepada Katadata, Sabtu (9/10).
Ika melanjutkan tren lain yang juga masih terjadi adalah pelabelan hoax terhadap media-media independen. Kasus terbaru, laporan Project Multatuli soal dugaan kasus pemerkosaan tiga orang anak di Luwu Timur juga dicap hoax oleh Polres setempat. Tidak hanya itu, serangan siber juga masih sering dialami media. Dalam banyak kasus, serangan ini memanfaatkan buzzer untuk melancarkan aksinya.
Aksi-aksi peretasan, doxing (pengungkapan identitas), hingga serangan a distribute of denial service attack (DDoS) juga beberapa kali terjadi. Tak lama setelah menurunkan laporan pemerkosaan di Luwu Timur, situs Project Multatuli juga sempat tidak bisa diakses karena serangan DDoS.
“Penghargaan ini menunjukkan peran jurnalis independen semakin dibutuhkan,” Ika menambahkan.
Pendiri Yayasan Pantau Andreas Harsono menegaskan Nobel Perdamaian ini menjadi sinyal kuat bagi media untuk terus menyediakan jurnalisme bermutu. Penghargaan ini penting bukan hanya karena prestisius, tetapi juga karena momennya tepat ketika jurnalisme sedang tertekan oleh perusahaan seperti Google dan Facebook.
“Mereka mengambil banyak sekali kue iklan media sehingga banyak membuat ruang redaksi kekurangan bujet,” ujarnya saat dihubungi Katadata, Sabtu (9/10).
Andreas menegaskan demokrasi dan jurnalisme lahir bersamaan. Dengan demikian, jika jurnalisme terganggu maka demokrasi juga akan ikut terkena dampaknya. “Penghargaan ini mengingatkan kita bahwa wartawan adalah penjaga demokrasi,” Andreas menambahkan.
Andreas melanjutkan meskipun pers di Indonesia sudah menikmati kebebasan sejak era reformasi, infrastruktur hukum masih membatasi kebebasan orang berpendapat, termasuk wartawan. Ia menyebut UU ITE dan pasal penistaan agama menjadi salah satu batu sandungan dalam kebebasan di Indonesia.