Bersaing dengan India-Korsel, Bagaimana Peluang RI Jadi Hub Vaksin?

ANTARA FOTO/REUTERS/Dado Ruvic/Illustration/hp/cf
Dado Ruvic/Illustration Botol kecil dengan label vaksin penyakit virus korona (COVID-19) Pfizer-BioNTech, AstraZeneca, dan Moderna terlihat dalam foto ilustrasi yang diambil Jumat (19/3/2021). Pfizer dan Moderna menggunakan teknologi berbasis mRNA.
Penulis: Maesaroh
12/10/2021, 19.37 WIB

Organsiasi Kesehatan Dunia (WHO)  berencana menunjuk satu negara di tiap kawasan sebagai hub produksi vaksin virus corona. Untuk kawasan Asia, Indonesia harus bersaing dengan India dan Korea Selatan (Korsel) guna mendapatkan posisi tersebut.

Afrika Selatan menjadi satu-satunya negara yang sudah ditunjuk WHO untuk menjadi hub di kawasan Afrika. Pasalnya, di kawasan tersebut sangat minim produksi vaksin sehingga percepatan pasokan harus segera dilakukan.

Penny D. Herasati, Direktur Sosial Budaya dan Organisasi Internasional Negara Berkembang Kementerian Luar Negeri, mengatakan WHO masih memproses untuk kawasan lainnya, termasuk Asia.

Namun, untuk kawasan Asia, posisi sebagai hub vaksin belum sampai ke tahap produksi. Penny menjelaskan bahwa tahap awal yang ditempuh adalah dengan menjadikan negara tersebut sebagai pusat pelatihan dan transfer teknologi vaksin.

Teknologi vaksin yang digunakan adalah berbasis asam nukleat atau mRNA seperti yang dikembangkan Moderna dan Pfizer.

 "Posisi kita bersaing dengan India dan Korsel. Proses due diligence (untuk penunjukan) akan dilakukan dalam waktu dekat. Keputusan ditunjuknya hub kemungkinan akan diumumkan pada awal 2022," tutur Penny dalam media gathering Kemlu, Selasa (12/10).

Indonesia, menurutnya, harus memenuhi sejumlah kriteria agar bisa bersaing dengan India dan Korsel.

Persyaratan tersebut di antaranya adalah kemampuan industri farmasi domestik dalam melakukan pelatihan.

"Apa industri farmasi kita mampu?Kalau lihat saingan kita seperti India dan Korsel kan sudah cukup maju dalam hal ini. Namun, kita juga punya PT Bio Farma,"tambahnya.

Diharapkan PT Bio Farma akan menjadi center of excellence, tempat pelatihan bagi ilmuwan-ilmuwan Asia . Nantinya, ilmuwan tersebut akan kembali ke negara masing-masing untuk mengembangkan vaksin mRNA.

"Kalau produksi itukan step nanti. Yang pertama itu direncanakan sebagai pusat pelatihan dulu,"ujarnya.

 Menurutnya,  WHO akan memberikan perhatian lebih kepada negara yang perlu diberikan peningkatan kapasitas dalam teknologi pembuatan vaksin. 

Hal ini merupakan keuntungan bagi Indonesia dibandingkan dengan India dan Korsel yang telah memiliki kapasitas jauh lebih baik dibanding Indonesia.

"Tentu saja capaian dalam penanganan Covid-19 juga akan menjadi perhitungan,"ujarnya.

Seperti diketahui, Pada Selasa (12/10), Indonesia melaporkan tambahan kasus sebanyak 1.261 dengan angka kematian mencapai 47 jiwa.

Jumlah kasus ini jauh lebih rendah dibandingkan yang dilaporkan pada puncak gelombang II. 

Pada 15 Juli lalu atau saat puncak pandemi, tercatat ada 56.757 kasus konfirmasi positif harian Covid-19 dengan kasus meninggal mencapai 982 jiwa.

Terpilihnya Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi sebagai salah satu Co Chair COVAX Vaccine Aliiance di WHO juga menjadi keuntungan bagi Indonesia.

"(Posisi co-chair) menunjukan bagaimana peran aktif Indonesia dalam memperjuangkan kepentingan negara berkembang.  Artinya ada kontribusi," tutur Penny.

 Pembicaraan mengenai rencana kerja sama antara pemerintah Indonesia dengan WHO terkait hub manufacturing vaksin sudah dilakukan sejak bulan Juli lalu.

Adalah Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin yang tengah giat melobi WHO. Pada 6 September lalu, Budi bertemu dengan Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus  di sela-sela saat pertemuanG-20 Health Ministers Meeting di Roma, Italia.

Pembicaraan mengenai Indonesia akan menjadi hub vaksin global menjadi lebih serius. Kepada Reuters, juru bicara WHO mengatakan Indonesia adalah salah satu dari 25 negara berkembang yang berminat untuk menjadi pusat vaksin global.