Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat timbunan sampah elektronik di Indonesia tahun ini mencapai 2 juta ton. Dari jumlah tersebut, pulau Jawa berkontribusi hingga 56% dari total sampah elektronik tahun ini.
Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah Limbah dan B3 (PSLB3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rosa Vivien Ratnawati mengakui pengelolaan sampah elektronik di Indonesia memang belum optimal. Oleh sebab itu, persoalan limbah sampah elektronik ini harus segera dituntaskan.
Sebab, di era digital saat ini yang disertai dengan sifat konsumtif masyarakat terhadap perangkat elektronik, potensi timbunan sampah elektronik di Indonesia sangat besar. Apalagi Indonesia merupakan negara dengan populasi terbesar keempat di dunia.
"Saya ada beberapa PC di rumah sudah 20 tahunan, iOS nya gak sampai, udah gak bisa diapa-apakan lagi. Dengan adanya acara ini, kita bisa menjadi pionir di lapangan harus diapakan ini (sampah elektronik)," kata Vivien dalam webinar National E-waste Day, secara virtual, Kamis (14/10).
Menurut dia, penanganan sampah elektronik, selain harus diperkuat dengan peraturan, juga harus diperkuat juga dengan keterlibatan para produsen dan distributor produk elektronik untuk mengembangkan skema take-back. Misalnya seperti ponsel bekas dan sebagainya dapat ditarik lagi oleh distributor.
"Juga meningkatkan kesadaran masyarakat. Jadi kalau ada barang elektronik bekas jangan dibuang ke TPA itu berbahaya," katanya.
Menurut laporan tahunan Global E-Waste Monitor 2020, yang dirilis Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), jumlah sampah elektronik global pada 2019 mencapai 53 juta ton. PBB memprediksi volumenya akan mencapai 74 juta ton pada 2030, dan melonjak lagi menjadi 120 juta ton pada 2050.
"Hanya 17,4% dari limbah elektronik yang mengandung campuran zat berbahaya dan bahan berharga ini yang dikumpulkan, diolah dan didaur ulang dengan benar," kata Vivien.
Sebagai informasi, merujuk pada PP No. 27 Tahun 2020 tentang pengelolaan sampah spesifik, sampah elektronik termasuk ke dalam sampah yang mengandung B3. Kandungan B3 ini berdampak negatif terhadap manusia dan lingkungan jika tidak dikelola dengan benar sehingga harus ditangani dengan tepat dan ramah lingkungan.
Menurut The Global E-waste Monitor 2020, Cina merupakan negara penghasil sampah elektronik terbanyak di dunia pada 2019. Jumlahnya mencapai 10,12 juta metrik ton. Berikutnya Amerika Serikat 6,91 juta metrik ton, lalu India dan Jepang menyusul dengan masing-masing 3,23 juta metrik ton dan 2,56 juta metrik ton.
Secara keseluruhan, total sampah elektronik di dunia mencapai 53,6 juta metrik ton pada 2019. Dari jumlah tersebut, limbah elektronik paling banyak berasal dari Asia, yakni 24,9 juta metrik ton. Simak databoks berikut:
Sampah elektronik merupakan produk yang memiliki komponen listrik dengan daya atau suplai baterai yang tak digunakan kembali. Beberapa contohnya seperti kulkas, laptop, lampu, hingga kipas angin.
Seorang seniman Rusia, Igor Verniy, berhasil mendaur ulang limbah elektronik menjadi berbagai hiasan berbentuk hewan. Dalam proses pembuatannya, Igor menggunakan bagian-bagian dari barang elektronik hingga mobil maupun sepeda yang tak terpakai.