Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Bupati Musi Banyuasin Dodi Reza Alex Noerdin bersama tiga orang lainnya sebagai tersangka. Keempatnya terjerat kasus dugaan suap terkait pengadaan barang dan jasa di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, untuk tahun anggaran 2021.
Tiga tersangka lainnya adalah Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Musi Banyuasin Herman Mayori, Kabid Sumber Daya Air (SDA)/Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Dinas PUPR Kabupaten Musi Banyuasin Eddi Umari, dan Direktur PT Selaras Simpati Nusantara Suhandy.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, penetapan tersebut telah melalui pengumpulan keterangan terkait dugaan tindak pidana korupsi. “Kami menemukan bukti permulaan yang cukup sehingga meningkatkan status perkara ini ke tahap penyidikan dengan mengumumkan empat tersangka," katanya saat jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Sabtu (16/10).
Alex mengatakan, dalam kegiatan tangkap tangan kemarin sekitar pukul 11.30 WIB, tim KPK telah menangkap enam orang di Musi Banyuasin. Sekitar pukul 20.00 WIB, tim KPK juga mengamankan dua orang di wilayah Jakarta.
Kedelapan orang tersebut, yakni Dodi Reza Alex Noerdin, Herman Mayori, Eddi Umari, Suhandy, Kabid Preservasi Jalan dan Jembatan Dinas PUPR Kabupaten Musi Banyuasin Irfan, Mursyid selaku ajudan bupati, Badruzzaman selaku staf ahli bupati, dan Kabid Pembangunan Jalan dan Jembatan Ach Fadly.
Atas perbuatannya, Suhandy selaku pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Sebagai penerima, Dodi dan kawan-kawan disangkakan melanggar Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo. Pasal Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
KPK Pantau Modus Korupsi Tender
Alex sebelumnya menyebut penggelembungan harga harga (mark up) masih rentan terjadi dalam tender pengadaan barang dan jasa di daerah. Besarnya bisa mencapai 15%.
Mark up harga biasanya dipakai sebagai uang jasa (fee) kepada pejabat setempat. Sepanjang Januari 2020-Maret 2021, KPK telah menangani 36 kasus korupsi pengadaan barang dan jasa di bidang konstruksi.
Modusnya bermacam-macam. Mulai dari penyuapan, gratifikasi, harga perkiraan sendiri (HPS) terlalu tinggi, hingga jasa sewa perusahaan dalam proses tender. “Biaya fee itu itu biasanya 5%-15% di luar keuntungan yang diperoleh,” ucap Alex pada 6 Oktober lalu.
Alex pernah mendapatkan pesan singkat dari salah satu peserta lelang proyek di daerah. Peserta itu bercerita, ia kalah dalam proyek tender meskipun harga yang ditawarkan 80% lebih murah ketimbang HPS.
Tidak hanya dirinya, tiga peserta lain yang menawarkan harga serupa juga tidak dimenangkan. Panitia lelang menilai harga penawaran terlalu rendah.
Pemenang tender justru peserta yang menawarkan harga 15% lebih tinggi dibandingkan dengan harga terendah yang ditawarkan. “Memang lazim ada permintaan fee sebesar 5% sampai 15%,” ujarnya.