Pemerintah didorong untuk melestarikan jutaan hektar kawasan hutan, gambut, dan mangrove yang sampai saat ini belum terlindungi untuk mengejar target penyerapan bersih atau net sink karbon di 2030.
Executive Director Yayasan Madani Nadia Hadad mengatakan dalam dokumen Updated Nationally Determined Contribution (NDC), pemerintah menargetkan penurunan emisi 29% dengan upaya mandiri dan 41% dengan dukungan global. Namun, di sisi lain pemerintah juga masih memberikan peluang deforestasi hingga 325.000 hektar per tahun hingga 2030. Bahkan dalam dokumen LTS-LCCR 2050, Nadia menyebut ada jatah deforestasi 6,8 juta hektar sampai 2050.
“Kunci penting komitmen iklim Indonesia adalah dengan melindungi bentang alam dan lahan gambut yang tersisa,” ujarnya dalam diskusi Katadata Road to COP 2026, Jumat (22/10).
Nadia melanjutkan dari hitungan Yayasan Madani, ada 9,62 juta hektar hutan dan 2,8 juta hektar lahan gambut di Indonesia yang belum terlindungi. Ini bisa menjadi peluang pemberian izin baru jika dibiarkan sebagaimana adanya.
Nadia menyebut pemerintah harus menyelaraskan kebijakan pembangunan dan ekonomi dengan perlindungan terhadap bentang alam. Pengakuan terhadap masyarakat adat juga harus diperhatikan sebab mereka berperan sangat penting dalam menjaga kelestarian hutan.
Sementara itu, ECO EcoNusa Bustar Maitar mengatakan kondisi hutan mangrove di Indonesia saat ini tidak baik-baik saja. Padahal, dari 16,5 juta hektar lahan gambut dunia, 3,3 juta hektar di antaranya ada di Indonesia. Namun, laporan terakhir menyebut dunia telah kehilangan sekitar 30% lahan mangrove.
“Yang paling besar justru terjadi di Indonesia,” ujarnya, dalam diskusi yang sama, Jumat (22/10).
Bustar menjelaskan alasan utama hancurnya ekosistem mangrove akibat alih fungsi lahan, baik untuk tambak maupun perkebunan. Saat ini, potensi habitat mangrove yang sudah dialih fungsi mencapai 756.000 hektar. Dengan demikian, sejatinya Indonesia memiliki 4,1 juta hektar habitat mangrove.
Bustar merinci dari jumlah tersebut, hanya 995.000 hektar yang dilindungi. Sebanyak 797.000 masuk kawasan konservasi. Adapun sisanya sebanyak 2,2 juta hektar masih berstatus kawasan produksi dan area penggunaan lain (APL).
“Sebanyak 2,2 juta hektar mangrove inilah yang harus dilindungi,” Bustar menambahkan.
Bustar mengapresiasi langkah pemerintah untuk melakukan rehabilitasi dan penanaman mangrove. Namun, ia menilai upaya ini harus dibarengi dengan upaya perlindungan terhadap habitat mangrove yang tersisa. Pasalnya, penanaman mangrove memakan biaya yang tidak sedikit dan perlu menunggu waktu lama untuk berkembang.