Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian gugatan masyarakat sipil terhadap sejumlah pasal Undang-Undang Covid-19. Salah satu implikasinya adalah penetapan masa berlaku UU Covid-19 yang akan berakhir pada 2022. Jika Presiden menilai pandemi belum berakhir, regulasi ini bisa diperpanjang melalui persetujuan Presiden.
Hakim Konstitusi Suhartoyo mengatakan UU No.2 Tahun 2020 tentang Penetapan Perpu No.1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid 19 berlaku dua tahun sejak diundangkan. Namun, jika pandemi diperkirakan berlangsung lebih lama, anggaran untuk penanganan Covid-19 harus mendapatkan persetujuan DPR dan pertimbangan DPD.
“UU ini yang hanyalah dalam rangka menanggulangi dan mengantisipasi dampak dari pandemi Covid-19 sehingga keberlakuan UU ini harus dikaitkan dengan status kedaruratan yang terjadi,” ujarnya dalam sidang putusan gugatan masyarakat sipil terhadap UU Covid-19, Kamis (28/10).
Sebelumnya, gugatan ini diajukan oleh Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA) serta Pemohon perorangan yaitu Desiana Samosir, Muhammad Maulana, dan Syamsuddin Alimsyah.
Menurut Suhartoyo, pembatasan masa berlaku UU Covid 19 disesuaikan dengan jangka waktu perkiraan defisit anggaran. Dengan demikian, tahun depan DPR dan Pemerintah harus kembali duduk bersama untuk menyepakati alokasi dan defisit anggaran penanganan pandemi.
Selain menguji soal masa berlaku UU Covid-19, para penggugat juga menyoroti ketentuan imunitas di Undang-Undang tersebut. Ini tercantum dalam Pasal 27 yang menyebut biaya penanganan Covid-19 merupakan bagian dari biaya ekonomi dan bukan kerugian negara.
Selanjutnya, pasal 2 mengatur bahwa kebijakan fiskal dan moneter tidak dapat dituntut baik secara pidana maupun pidata, jika melaksanakan tugas berdasarkan itikad baik dan sesuai ketentuan perundang-undangan.
Hakim konstitusi Saldi Isra menilai frasa ‘kerugian negara’ tidak bisa dilepaskan dari UU No.20 Tahun 2021 tentang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). UU tersebut mengatur syarat esensial tipikor harus memenuhi unsur “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”.
“Dalam perspektif Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU Covid-19, apabila dicermati dengan saksama tidak ditemukan adanya unsur kerugian negara,” ujarnya, Kamis (28/10).
Lebih lanjut, Saldi menyebut secara a contrario (penafsiran hukum secara berlawanan), meskipun penggunaan biaya untuk penanganan pandemi Covid-19 dilakukan tanpa itikad baik dan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, maka pelaku penyalahgunaan kewenangan dimaksud tidak dapat dilakukan tuntutan pidana.
“Sebab, hal tersebut telah terkunci dengan adanya frasa ‘bukan merupakan kerugian negara’ sebagaimana termaktub dalam norma Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU Covid-19,” ujar Saldi.