Lewat Lentera Litera, Masyarakat Bisa Belajar Soal Literasi Media

ANTARA FOTO/Jessica Helena Wuysang
Sejumlah mahasiswa mengikuti pelatihan jurnalistik bertajuk Empowering woman through journalism and digital technology, di American Corner Universitas Tanjungpura, di Pontianak, Kalimantan Barat, Senin (24/2/2020). Kegiatan yang diikuti 24 mahasiswi terpilih dari Kalbar tersebut merupakan salah satu program hibah Kedutaan Besar AS yang dikelola alumni program pertukaran, dan bertujuan untuk menambah pengetahuan jurnalistik dan komunikasi juga meningkatkan literasi digital mahasiswa.
28/10/2021, 20.38 WIB

Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) merilis platform Lentera Litera untuk memerangi disinformasi di masyarakat.

Presidium Mafindo Eko Juniarto mengatakan platform ini akan menjembatani masyarakat dengan ekosistem media siber. Melalui platform ini masyarakat bisa belajar soal literasi media, riset, pemetaan, dan memeriksa fakta. Ada juga fitur tanya pakar yang diampu oleh anggota Mafindo, Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Aliansi Jurnalis Independen, Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN), dan praktisi media.

“Lentera Litera mencoba mengajak masyarakat agar memahami proses kerja jurnalistik dan tidak menjadi korban narasi tanpa verifikasi yang bertebaran di media sosial,” ujarnya, dalam konferensi pers, Kamis (28/10).

Direktur Eksekutif PPMN Eni Mulia berharap Lentera Litera mampu membawa masyarakat terbebas dari fenomena disinformasi. Sebab informasi atau jurnalisme yang baik akan selalu mampu menyelamatkan nyawa pembaca. Sementara informasi buruk akan mencelakakan pembaca.

"Dengan adanya Lentera Litera, saya berharap publik bisa membedakan mana informasi baik yang menyelamatkan dan buruk yang mencelakakan,” ujarnya, Kamis (28/10).

Dosen UIN Syarif Hidayatullah dan kolaborator platform Lentera Litera, Rulli Nasrullah mengatakan literasi media di masyarakat saat ini tertinggal dengan perkembangan teknologi. Hal tersebut pun diperparah dengan adanya masalah penyakit digital, yang dinilai menjadi hambatan yang mengakibatkan penyebaran hoax.

“Realitas yang terjadi adalah teknologi itu munculnya cepat. Sementara, literasi digitalnya itu agak lambat” katanya, Kamis (28/10).

Rulli menyebut salah satu penyakit digital yang marak terjadi adalah fear of missing out (FOMO). Ini adalah sindrom takut ketinggalan atau tidak dianggap, yang disebabkan oleh kurangnya update di media sosial.

Rulli menjelaskan FOMO merupakan bentuk kebutuhan psikologis dan kepuasan untuk dihargai orang lain di media sosial. Hal tersebut juga terkait dengan rasa kurang atau tertekan secara batin ketika melihat orang yang lebih dihargai dibanding diri sendiri.

Penyumbang Bahan: Amartya Kejora

 

Reporter: Rezza Aji Pratama