Gonta-Ganti Kebijakan PCR, Pemerintah Diminta Terbuka Soal Bisnis PCR

ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/aww.
Warga menjalani tes usap polymerase chain reaction (PCR) COVID-19 di Rumah Sakit Baiturrahim, Jambi, Selasa (26/10/2021). ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/aww.\
Penulis: Maesaroh
1/11/2021, 14.25 WIB

Kebijakan terkait tes Polymerase Chain Reaction (PCR) bagi pelaku perjalanan terus berubah.  Pemerintah pun diminta terbuka mengenai apa yang sebenarnya terjadi dalam bisnis tes PCR dalam negeri.

Hari ini, Senin (1/11) pemerintah menghapus ketentuan kewajiban tes PCR bagi penerbangan Jawa-Bali. Padahal, kewajiban tes PCR tersebut baru diterapkan pada 24 Oktober lalu.

Perubahan kewajiban tes PCR adalah kali sekian yang dilakukan pemerintah, terutama untuk moda transportasi udara.

Perubahan kebijakan tes PCR tidak hanya dalam hal penggunaannya sebagai syarat perjalanan tetapi juga harga yang ditetapkan.

 Harga tes juga berubah setidaknya empat kali dari Rp2,5 juta pada awal pandemi kemudian turun Rp900 pada Oktober 2020, kemudian turun menjadi Rp 495-525 ribu pada Agustus 2021 dan terakhir diturunkan ke Rp 275-300 ribu pada 27 Oktober lalu.

 Peneliti  Indonesia Corruption Watch (ICW) Wana Alamsyah meminta pemerintah lebih terbuka terkait kebijakan PCR.
Pasalnya, ada kecurigaan jika bisnis tes PCR menguntungkan pihak-pihak tertentu.

"Masalah kamu sejak awal adalah keterbukaan yang dilakukan pemerintah. Dari tahun lalu, pemerintah gagal memberikan informasi secara transparan ke publik,"tutur Wana, kepada Katadata, Senin (1/11).

ICW bersama dengan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, LaporCovid-19, dan Lokataru bergabung membentuk Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kesehatan dan Keadilan.

Mereka menuntut pemerintah untuk membuka secara jelas arah dari kebijakan PCR serta perputaran bisnis tes PCR. 

 Kewajiban PCR memang telah dihapus untuk penumpang pesawat Jawa-Bali. Namun, Kementerian Perhubungan per 27 Oktober juga mewajibkan pelaku perjalanan darat yang melintasi jarak lebih dari 250 km atau empat jam untuk melakukan tes Antigen/PCR.

Wana menduga kewajiban tes Antigen/PCR dengan dibarengi penurunan harga merupakan upaya perusahaan untuk menghabiskan stok cairan reagen yang dipakai untuk tes PCR.

Terlebih, kewajban tersebut diterapkan justru di saat kasus Covid-19 di Indonesia turun tajam.

"Bagaimana bisa kewajiban (tes Covid-19) ini diwajibkan ke semua moda, ini tidak masuk akal. Hasil investigasi ICW memang ada peristiwa kondisi reagen yang memsuki kadaluarsa,"tuturnya.

Sementara itu, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kesehatan dan Keadilan dalam siaran persnya, mengatakan pemerintah sudah tidak lagi berpegang pada prinsip kedaruratan kesehatan masyarakat dalam menentukan kebijakan tes PCR.

 Penurunan harga tes PCR pada 27 Oktober lalu bahkan sarat muatan bisnis serta dimaksudkan untuk mendorong mobilitas masyarakat.

"Kami melihat bahwa penurunan harga ini seharusnya dapat dilakukan ketika gelombang kedua melanda, sehingga warga tidak kesulitan mendapatkan hak atas kesehatannya,"tutur Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kesehatan dan Keadilan.

Dari seluruh rangkaian perubahan tarif pemeriksaan PCR sejak awal hingga akhir, Koalisi mencatat setidaknya ada lebih dari Rp 23 triliun uang yang berputar dalam bisnis tersebut.

Total potensi keuntungan yang didapatkan adalah sekitar Rp 10 triliun lebih.

Ketika ada ketentuan yang mensyaratkan penggunaan PCR untuk seluruh moda transportasi, perputaran uang dan potensi keuntungan yang didapatkan tentu akan meningkat tajam.

"Kondisi tersebut menunjukan bahwa Pemerintah gagal dalam memberikan jaminan keselamatan bagi warga,"kata Koaliasi tersebut.

 Menurut Koalisi  Masyarakat Sipil untuk Kesehatan dan Keadilan terdapat dua permasalahan dari kondisi di atas.

Pertama, Koalisi menduga penurunan harga PCR karena sejumlah barang yang telah dibeli, baik oleh pemerintah/perusahaan, akan memasuki masa kadaluarsa.

Dengan dikeluarkannya ketentuan penurunan harga serta kewajiban tes PCR/Antigen diduga pemerintah sedang membantu penyedia jasa untuk menghabiskan reagen PCR.

Kedua, tidak terbukanya informasi mengenai komponen biaya pembentuk harga pemeriksaan PCR.

Dalam sejumlah pemberitaan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Kementerian Kesehatan tidak pernah menyampaikan informasi apapun perihal jenis komponen dan besarannya.

Berdasarkan informasi yang dimiliki oleh Koalisi, sejak Oktober 2020 lalu, harga reagen PCR hanya sebesar Rp180 ribu.

Saat itu, pemerintah menetapkan harga Rp 900 ribu, maka komponen harga reagen PCR hanya 20%.

Komponen harga lainnya tidak dibuka secara transparan sehingga penurunan harga menjadi Rp 900 ribu juga tidak memiliki landasan yang jelas.

Begitu pula dengan penurunan harga PCR menjadi Rp 350.000 juga tidak dilandaskan keterbukaan informasi.

"Sehingga keputusan kebijakan dapat diambil berdasarkan kepentingan kelompok tertentu. Artinya sejak Oktober 2020 Pemerintah diduga mengakomodir sejumlah kepentingan kelompok tertentu,"tutur Koalisi tersebut.

 Dari catatan di atas, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kesehatan dan Keadilan mendesak agar: Pemerintah menghentikan segala upaya untuk mengakomodir kepentingan bisnis tertentu melalui kebijakan.

Kementerian Kesehatan harus membuka informasi mengenai komponen pembentuk tarif pemeriksaan PCR beserta dengan besaran persentasenya. 

"Pemerintah harus menggratiskan pemeriksaan PCR bagi seluruh masyarakat,"tuturnya.