Kepercayaan Masyarakat Menurun Karena Kebijakan Covid-19 Berubah-Ubah

ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Warga berjalan di jembatan penyeberangan orang (JPO) tanpa atap di Jalan Sudirman, Jakarta, Rabu (20/10/2021).
Penulis: Rizky Alika
Editor: Maesaroh
10/11/2021, 06.00 WIB

Pemerintah kembali berencana mengubah kebijakan terkait penanggulangan pandemi Covid-19, termasuk soal karantina dan tes PCR. Pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah pun menilai, kebijakan yang berubah-ubah bisa menurunkan kepercayaan masyarakat.

"Jelas menimbulkan pengaruh pada masalah public trust," kata Trubus saat dihubungi Katadata, Selasa (9/11).

Menurutnya, perubahan kebijakan tersebut akan membingungkan masyarakat lantaran tidak ada kepastian. Masyarakat pun dapat merasa dirugikan lantaran perubahan kebijakan tersebut. Dampak tersebut bisa berujung pada peningkatan ketidakpatuhan masyarakat.

 Selain itu, kebijakan yang berubah-ubah juga akan berdampak pada minat turis untuk berkunjung ke Tanah Air.

Sebab, perubahan masa karantina bagi pelaku perjalanan internasional akan membingungkan warga negara asing (WNA). "Jadi kebijakan seharusnya konsisten," ujar dia.

Selain itu, ia memastikan kebijakan yang dibuat harus berdasarkan aturan hukum yang berlaku. Kemudian, aturan tersebut perlu disosialisasikan secara masif kepada masyarakat.

Sementara, pengamat kebijakan publik Agus Pambagio mengatakan, aturan yang disusun pemerintah semestinya mengikuti peraturan perundang-undangan.

Dalam hal ini, aturan yang disusun harus sesuai dengan Undang-Undang (UU) No. 15 Tahun 2019 tentang Perubahan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Dalam UU tersebut, tidak ada penggunaan peraturan setingkat Surat Edaran (SE). Hirarki perundang-undangan hanya meliputi UU hingga Keputusan Menteri. "SE tidak ada di situ. Artinya SE Satgas tidak berkekuatan hukum," ujar dia.

Hal ini dapat mengurangi kredibilitas pemerintah. Sebab, pemerintah tidak mematuhi aturan yang berlaku. Selain itu, aturan yang tidak sesuai UU akan membingungkan aparat dan masyarakat.

"Kalau ada pelanggaran, aparat pasti bingung penegakan hukumnya," ujar dia.

Meski begitu, ia mendukung adanya pengetatan regulasi menjelang libur Natal dan tahun baru. Namun, hal ini perlu diikuti dengan kebijakan yang memiliki kekuatan hukum.

Sebelumnya, pemerintah berencana mengubah masa karantina bagi pelaku perjalanan internasional serta memberlakukan kembali kewajiban tes PCR untuk pelaku perjalanan domestik.

Periode karantina akan dipangkas menjadi tiga hari dari sebelumnya lima hari.

Sementara itu, pada Senin (8/11) Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan pemerintah mengkadi diberlakukannnya lagi tes PCR sebagai syarat penerbangan selama Nataru. Padahal, kebijakan penghapusan kewajiban tes PCR bagi penumpang pesawat baru diumumkan awal November.

 Pemberlakuan kembali tes PCR dikaji mengingat adanya tren kenaikan kasus corona serta memperhitungkan pergerakan manusia.

Selain itu, pemerintah juga mewaspadai varian Delta Plus yang telah masuk Malaysia.

Atas berubahnya kebijakan, Luhut meminta masyarakat tidak memberikan cap inkonsisten terhadap pemerintah dalam penanganan Covid-19.

"Jangan nanti dikatakan (kebijakannya) bolak-balik. Tidak sama sekali. Kami sangat hati-hati," ujar dia.

Mantan Kepala Staf Kepresidenan tersebut mengatakan proses pegambilan keputusan dilakukan berbasis data dan konsisten untuk mengantisipasi penyebaran corona.

"Kami sangat konsisten. Yang tidak konsisten itu adalah penyakitnya," ujar dia.

Reporter: Rizky Alika

Masyarakat dapat mencegah penyebaran virus corona dengan menerapkan 3M, yaitu: memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak sekaligus menjauhi kerumunan. Klik di sini untuk info selengkapnya.
#satgascovid19 #ingatpesanibu #pakaimasker #jagajarak #cucitangan