KPPU: Bundling dan Lama Waktu Tes PCR Picu Persaingan Bisnis Tak Sehat
Investigasi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengindikasikan adanya potensi persaingan usaha yang tidak sehat dalam bisnis tes Polymerase Chain Reaction (PCR) melalui paket bundling dan kecepatan hasil tes PCR keluar.
Menurut KPPU banyak penyedia tes PCR yang mematok harga tes jauh di atas yang ditentukan dengan iming-iming hasil tes keluar lebih cepat.
Beberapa penyedia tes juga menawarkan paket bundling mahal dalam tes PCR, termasuk dengan menyediakan jasa konsultasi dengan dokter,
"Ada potensi persaingan usaha tidak sehat atau memaksimumkan keuntungan ketika ada bundling tarif PCR ketika misalnya bundling dengan konsultasi dengan dokter. Biayanya bisa melambung hampir dua kali lipat," tutur Direktur Ekonomi KPPU Mulyawan Ranamanggala, dalam media briefing, Jumat (12/11).
"Atau juga dengan hasil tes PCR dengan kecepatan yang lebih cepat daripada yang satu hari, misalnya. Itu sebenarnya menurut kami memunculkan potensi adanya persaingan usaha tidak sehat," tambahnya.
Karena itulah, Mulyawan berharap pemerintah lebih mengawasi bisnis tes PCR untuk mencegah kemungkinan persaingan tidak sehat.
Dia juga mengingatkan bahwa keberadaan tes PCR seharusnya lebih didasarkan pada fungsinya yakni sebagai syarat penerbangan bukan sebagai salah satu ladang bisnis.
"Kami melihat dan merekomendasikan pemerintah perlu mengawasi tes PCR yang di-bundling, yang diberikan label hasil cepat. Supaya tujuan dari tes PCR untuk mengidentifikasi atau mendeteksi orang-orang yang terkena virus corona, bukan jadi bagian dari bisnis," paparnya.
Mulyawan menjelaskan investigasi KPPU menunjukan reagen merupakan komponen penentu harga tes PCR yang terbesar. Harga reagen berpengaruh 49,27-55,15% dari harga tes PCR.
Investigasi mereka juga mengindikasikan peran importir dan distributor reagen dalam mempengaruhi tarif PCR.
Jika pemerintah menurunkan tarif tes PCR, harga komponen reagen ikut mengalami penurunan.
"Harga reagen diturunkan pemasok pasca penetapan tarif tes PCR Agustus lalu. harga reagen PCR menyesuaikan rata-rata 37,29% pasca penetapan tarif baru,"tutur Mulyawan.
Saat ini, ada 11 perusahaan yang menyediakan komponen reagen dan masuk ke dalam e-katalog dengan harga rata-rata Rp 180.367, dengan harga tertinggi Rp 234.375 dan harga terendah Rp 135.000.
Ketersediaan reagen di pasaran juga terus mengalami peningkatan, seiring dengan meningkatnya impor alat PCR dan jumlah reagen yang mendapatkan rekomendasi.
Pada April 2020, terdapat 30 merek reagen yang mendapat rekomendasi.
Kemudian, per 26 Agustus 2021 sudah terdapat 60 merek reagen yang memiliki surat izin edar dari Kementerian Kesehatan.
Pada 27 Oktober lalu, pemerintah menetapkan batas tertinggi untuk tes PCR sebesar Rp 275 ribu untuk Pulau Jawa dan Rp 300 ribu di luar Pulau Jawa.
Namun, berdasarkan survei yang dilakukan KPPU pada periode Oktober - November 2021, harga tes PCR dengan hasil 6 jam di Pulau Jawa masih di atas HET yakni Rp 380 ribu di DKI Jakarta dan Rp 387.500 di Jawa Barat.
Sementara di Sumatera harga tes PCR dengan hasil 6 jam sebesar Rp 300 ribu, Kalimantan Rp 486.250, dan Makassar Rp 631.250.
"Yang kami soroti adalah tes PCR dengan hasil 6 jam. Ini yang menurut para pelaku usaha tidak bisa mengikuti HET karena reagen dan alatnya berbeda, sehingga bisa menghasilkan hasil yang lebih cepat," kata Mulayawan.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa pelayanan tes PCR bersifat inelastis sehingga tidak bisa diserahkan kepada mekanisme pasar.
Karena itulah, peran pemerintah dalam menentukan HET tes PCR dinilai penting untuk menekan tarif.
"Perluada keterbukaan pemerintah mengenai perhitungan HET. Belum diketahui asumsi harga reagen yang menjadi patokan pemerintah dalam perhitungan HET," tuturnya.