Pemerintah telah menurunkan batas tarif tertinggi tes Polymerase Chain Reaction (PCR). Seiring dengan hal tersebut, sejumlah laboratorium pun mulai melakukan efisiensi karyawan karena biaya operasional tidak mencukupi.
"Sekarang sudah ada yang merumahkan karyawannya," kata Ketua Persatuan Dokter Spesialis Patologi Klinik (PDS Patklin) Aryati dalam webinar, Jumat (12/11).
Upaya ini dilakukan lantaran lab tidak bisa melayani tes PCR dengan harga ketetapan pemerintah. Terutama, lab yang melakukan tes PCR dengan sistem tertutup (closed system).
Lab jenis tersebut memerlukan biaya yang mahal karena memerlukan jenis reagen dengan spesifikasi tertentu.
Sebagaimana diketahui, ada dua sistem pengerjaan PCR, yaitu sistem terbuka (open system) dan sistem tertutup.
Sistem terbuka dapat menggunakan reagen mana saja, tidak perlu berasal dari produk yang sama dengan alat ekstraksi maupun alat PCR.
Namun, sistem terbuka dikerjakan secara manual, membutuhkan waktu yang lama, serta perlu ketelitian yang tinggi.
Adapun sistem tertutup harus menggunakan reagen dari produk yang sama dengan alat ekstraksi maupun alat PCR.
Sistem ini bekerja secara otomatis serta waktu pengerjaannya lebih singkat.
Dengan demikian, sistem terbuka lebih murah dibandingkan dengan sistem tertutup. Namun, sistem terbuka tetap memerlukan biaya pemeriksaan yang tidak murah.
Dengan penurunan tarif PCR, lab akan semakin sulit beroperasi. Untuk saat ini, lab masih bisa melayani pemeriksaan dengan menggunakan stok reagen dan Bahan Habis Pakai (BHP) yang ada, meskipun dibeli dengan harga lama.
Namun, lab tersebut diperkirakan tidak akan mampu mempertahankan pelayanan tes PCR, terutama lab dengan sistem tertutup.
"Akan terjadi penurunan jumlah lab yang masih mampu mengadakan pelayanan tes PCR," ujar dia.
PDS Patklin melakukan survei terhadap anggotanya pada September-8 November 2021.
Hasil survei menunjukkan, terdapat 116 lab anggota PDS Patklin atau 50% yang menggunakan sistem terbuka. Sementara, ada 41 lab atau 41% yang hanya memiliki sistem tertutup.
Selebihnya, 74 lab atau 32% memiliki sistem terbuka dan tertutup.
Sementara, Ikatan Laboratorium Kesehatan Indonesia Dyah Anggraeni mengonfirmasi adanya sejumlah lab yang tutup lantaran tidak bisa menurunkan harga tes PCR.
"Kalau harga tidak bisa turun, kena sanksi. Akhirnya ada yang berhenti mengerjakan layanan tes," ujar dia.
Sejumlah lab pun melakukan efisiensi SDM, seperti mengurangi jumlah swaber atau petugas yang mengambil sampel. Sementara, jumlah karyawan dalam lab tidak bisa dikurangi.
Kemudian, sejumlah lab juga melakukan subsidi silang untuk bisa menurunkan harga tes PCR.
Ia menjelaskan, ada sejumlah komponen dalam penetapan harga tes PCR. Komponen itu meliputi biaya sumber daya manusia, BHP yang digunakan swaber, BHP pengujian sampel, reagen, overhead atau operasional, dan administrasi.
Dalam komponen biaya tersebut, lab juga harus menyediakan alokasi biaya untuk pengulangan tes. Upaya ini dilakukan untuk menjamin kualitas tes PCR.
"Kadang tes yang hasilnya positif hanya memiliki 1 gen. Semestinya terdapat dua