Kenaikan UMP di Bawah Rp 50 Ribu, Buruh Sebut Pemerintah Memalukan

ANTARA FOT O/Paramayuda/aww.
Pengunjuk rasa membentangkan poster di kawasan Patung Kuda, jakarta, Rabu (10/11/2021). Aksi dari berbagai elemen buruh ini menuntut kenaikan upah sebesar 7-10 persen dan pencabutan omnibus law dan PKB tanpa omnibus law.ANTARA FOT O/Paramayuda/aww.
Penulis: Maesaroh
17/11/2021, 18.48 WIB

Pemerintah menetapkan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2022 sebesar 1,09%. Dengan kenaikan sebesar itu,  tambahan upah buruh kemungkinan tidak akan sampai Rp 50 ribu.

Berdasarkan hitungan Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia) dan mempertimbangkan PP No. 36 tahun 2021 maka kenaikan UMP tahun 2022 tertinggi hanya sebesar Rp 37.538 dan kenaikan terendah adalah hanya naik Rp 14.032.

Kenaikan tertinggi ada di Jakarta dengan melihat UMP tahun ini di kisaran Rp 4.416.186,548.

Kenaikan akan menjadi sebesar Rp 4.453.724 dari sebelumnya tahun 2021 sebesar Rp 4.416.186,548. Artinya hanya naik sebesar Rp 37.538.

Sementara itu, kenaikan terendah UMP tahun 2022 adalah di Jawa Tengah menjadi sebesar Rp 1.813.011.

Angka itu hanya naik sebesar Rp 14.032 dibanding UMP tahun 2021 sebesar Rp 1.798.979,00.

 "Ini sangat memalukan di tengah kondisi rakyat yang semakin sulit dan daya beli masyarakat yang semakin rendah. Rakyat dipaksa untuk terus miskin," tutur  Mirah Sumirat, Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia, dalam siaran pers, Rabu (17/11).

Mirah menambahkan kenaikan UMP tahun depan seharusnya mempertimbangkan bahwa pemerintah tidak menaikkan UMP tahun 2021. Selain itu, dampak pandemi Covid-19 yang masih berlangsung tahun depan.

"Kalau mau fair, kita lihat insentif di masa pandemi lebih banyak diterima pengusaha daripada buruh. Banyak buruh yang work from home sehingga kebutuhan bertambah seperti internet," ujarnya.

 Terkait kenaikan UMP, Mirah menjelaskan pemerintah menetapkan kenaikan upah minimum berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.

 Aturan tersebut merupakan aturan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

"Pemerintah sedang mempermalukan dirinya sendiri, karena terbukti membuat aturan turunan berupa PP No. 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, yang justru bertentangan dengan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja,"kata Mirah Sumirat.

Mirah mengatakan dalam UU Cipta Kerja kenaikan upah minimum dihitung hanya berdasar variabel pertumbuhan ekonomi atau inflasi (bukan akumulasi).

Namun dalam PP No. 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, ada tambahan formula baru yang ditetapkan sepihak oleh Pemerintah, yang tidak diatur dalam UU Cipta Kerja, yaitu penyesuaian nilai upah minimum ditetapkan dalam rentang nilai batas atas dan batas bawah.

Nilai batas atas upah minimum dihitung berdasarkan rata-rata konsumsi per kapita, rata-rata banyaknya anggota rumah tangga, dan rata-rata banyaknya anggota rumah tangga yang bekerja pada setiap rumah tangga.

Nilai batas bawah upah minimum dihitung dari batas atas upah minimum dikalikan 50%.

Formula baru rentang nilai batas atas dan batas bawah dalam PP No. 36 tahun 2021 inilah yang membuat kenaikan upah minimum 2022 hasilnya justru di bawah inflasi ataupun pertumbuhan ekonomi.

Padahal berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi tertinggi didapat oleh Maluku Utara dengan kenaikan 12,76%, Inflasi tertinggi Bangka Belitung 3,29%.

 Mirah Sumirat juga menegaskan bahwa UU Cipta Kerja No. 11 tahun 2020 dan PP No. 36 tahun 2021 tentang Pengupahan, semakin membuktikan bahwa Pemerintahan Joko Widodo memberikan karpet merah kepada pengusaha dan tidak berpihak pada pekerja dan rakyat Indonesia.

Mirah mengatakan ASPEK Indonesia akan melakukan mogok nasional sebagai bentuk protes  keras atas keputusan Pemerintah.

Mogok akan dilakukan secara bergelombang dari akhir November sampai awal Desember.

"Mogok Nasional secara konstitusional untuk menolak penetapan UMP 2022 yang tidak manusiawi dan ini semakin membuktikan bahwa pemerintah tidak mampu memberikan kehidupan yang layak kepada rakyat nya," ujar Mirah.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi Sukamdani mengatakan kenaikan UMP sesuai PP No. 36 tahun 2021 sudah adil dan sesuai.

Pasalnya, ketentuan kenaikan UMP sebelumnya memberatkan pengusaha.

"Kami mendukung ketentuan PP No.36, ini cukup adil untuk semuanya," uajr Haryadi, kepada Katadata, Rabu (17/11).