Persoalan operasi tangkap tangan (OTT) yang biasa dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi perbincangan hangat. Setelah sebelumnya Bupati Banyumas, Achmad Husein menyatakan takut dan tidak mau dilakukan OTT, kali ini giliran politisi PDIP Arteria Dahlan yang ikut angkat suara.
Dalam diskusi online pada Kamis (18/9), anggota DPR itu menyebut KPK seharusnya tidak melakukan OTT kepada jaksa, polisi, dan hakim. Ia beralasan mereka adalah simbo negara yang harus dijaga marwah kehormatannya.
OTT memang jadi salah satu andalan KPK dalam memberantas kasus korupsi. Di tengah gonjang-ganjing KPK beberapa waktu terakhir, lembaga anti-rasuah itu masih rajin melakukan OTT di sejumlah daerah. Metode ini dianggap senjata ampuh memberantas korupsi di Indonesia.
Mantan penyidik KPK Yudi Purmono mengatakan OTT ditakuti karena penyidik tidak sembarangan dalam menjalankan aksinya. Saat memutuskan OTT, penyidik biasanya sudah mengetahui siapa pelakunya baik yang menyuap maupun yang disuap. Selain itu, KPK juga sudah mengantongi barang bukti berupa uang rupiah maupun mata uang asing.
"Kemudian dapat juga dilakukan pemeriksaan terhadap buku tabungan ketika uang suap diserahkan melalui transfer," ujarnya, Jumat (19/11).
Lebih lanjut Yudi mengatakan OTT dapat berkembang dari penerima hingga ke tingkat pejabat tingkat nasional. Penerimaan uang berdasarkan pengalaman Yudi dapat berasal dari penyelenggara anegara ataupun penegak hukum.
"Artinya bahwa OTT masih menjadi senjata untuk melawan korupsi yang ampuh di negeri kita. Sebab orang sudah tidak bisa lagi mengelak bahwa dia melakukan tindak pidana korupsi," ujar Yudi.
Dalam video terpisah, Yudi mengatakan jika tidak ingin dilakukan OTT maka seharusnya dari awal jangan melakukan tindakan ataupun niatan korupsi. Selain itu, Yudi mengatakan upaya yang dapat dilakukan adalah dengan adanya zero tolerance dari setiap daerah terhadap tindakan suap.
Yudi juga menyebut perlu adanya sistem yang transparan dan akuntabel sehingga membuat orang pertama tidak ingin melakukan korupsi. Sistem yang baik menurutnya akan menciptakan penyelenggaraan negara yang bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
"Tidak boleh ada pengusaha yang memberikan suap. Tidak boleh ada para ASN yang memberikan suap ketika sudah terpilih atau ditunjuk dalam suatu jabatan," ujar Yudi melalui kanal YouTube miliknya.
Yudi menceritakan pengalamannya ketika menangani kasus korupsi kepala daerah. Yudi menyebut korupsi yang dilakukan lebih banyak untuk memenuhi gaya hidup dan mengembalikan modal kampanye. Yudi mengatakan menghargai kepala daerah yang menginginkan daerahnya berubah bukan karena takut OTT KPK melainkan karena keinginan untuk membawa rakyatnya hidup sejahtera.
"Saya yakin kepala daerah tentu ketika mereka tidak korupsi maka daerahnya akan maju," ia menambahkan.
Pihak KPK sebelumnya mengatakan kepala daerah tidak perlu takut dengan OTT selama menjalankan pemerintahannya dengan memegang teguh integritas, mengedepankan prinsip-prinsip good governance, dan tidak melanggar ketentuan hukum yang berlaku.
Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Bidang Pencegahan, Ipi Maryati mengatakan KPK meminta komitmen kepala daerah untuk fokus melakukan perbaikan tata kelola pemerintah daerah. Melalui Monitoring Center for Prevention (MCP), KPK menerangkan terdapat delapan area yang harus dijadikan penguatan tata kelola pemerintah daerah yang baik. Hal ini karena delapan area tersebut merupakan sektor rawan korupsi.
Kedelapan area tersebut adalah Perencanaan dan Penganggaran APBD, Pengadaan Barang dan Jasa, Perizinan, Penguatan APIP, Manajemen ASN, Optimalisasi Pajak Daerah, Manajemen Aset Daerah, dan Tata Kelola Keuangan Desa.
"Setiap area intervensi tersebut telah diturunkan ke dalam serangkaian aksi pencegahan korupsi terintegrasi yang implementasi dan kemajuannya dievaluasi oleh KPK secara berkala," ujar Ipi melalui keterangan resmi.