Pihak kepolisian mengatakan saat ini Satuan Tugas (Satgas) Anti Mafia Tanah telah menetapkan 61 tersangka dari 69 perkara yang telah ditangani hingga bulan Oktober 2021.
Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Ahmad Ramadhan dari 61 tersangka tersebut sebanyak 7 orang telah ditahan sementara 23 orang masih dalam proses. Sebanyak 29 tersangka kemudian telah dilimpahkan ke Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan saat ini masih ada 2 orang yang diburu atau masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).
Ahmad mengatakan secara rinci dari 69 perkara tersebut 5 perkara sedang dalam proses penyelidikan, 34 perkara dalam proses penyidikan, 14 perkara sudah sampai pada tahap satu dan 14 perkara sudah sampai tahap dua. Sementara itu terdapat satu kasus yang dihentikan penyelidikannya karena sudah dilakukan restorative justice.
"Tidak ditindaklanjuti karena diselesiakan secara restorative justice artinya antara pihak pelapor dan pihak terlapor setelah di mediasi mereka bisa melakukan perdamaian melakukan kesepakatan," ujar Ramadhan dalam konferensi pers, Jumat (19/11).
Lebih lanjut, Ramadhan mengatakan dari 69 perkara terbanyak berasal dari wilayah Jawa Timur dengan 7 kasus kemudian yang kedua di Jawa Tengah dengan 4 kasus, ketiga di Sulawesi Selatan terdapat 4 kasus dan yang keempat di Sulawesi Tengah dengan 4 kasus.
Sebelumnya Menteri Agraria dan Tata Ruang Badan Pertahanan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil memberikan ultimatum keras kepada para mafia tanah yang masih beroperasi.
Sofyan menegaskan agar para mafia tanah tidak lagi melakukan aksinya. Ia berjanji akan aktif mengawasi dan melakukan berbagai upaya guna memberantas mafia tanah. Sofyan Djalil kemudian menginisiasi pembentukan Satgas Mafia Tanah dengan pihak kepolisian.
Staf Khusus Menteri ATR/Kepala BPN Bidang Penanganan Sengketa dan Konflik Tanah dan Ruang Hary Sudwijanto mengatakan peran Kejaksaan juga dibutuhkan dalam memerangi mafia tanah. Hal ini karena para mafia tanah mengetahui kelemahan birokrasi dalam penegakkan hukum.
Para mafia tanah juga melakukan aksinya secara sistematis karena memahami aturan, persyaratan dan bahkan prosedur pertanahan di Indonesia. Selain itu, mereka juga memiliki berbagai modus dalam kejahatan pertanahan, mulai dari pemalsuan dokumen, pendudukan lahan secara ilegal, hingga mencari legalitas di pengadilan.
"Birokrasi yang ditata sedemikian rupa ternyata mampu ditembus oleh para pelaku kejahatan pertanahan, bahkan penegak hukum dapat dipengaruhi," ujar Hary.