Baleg DPR Ajak Pemerintah Bahas Revisi UU Cipta Kerja Bulan Depan

ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman/foc.
Massa yang tergabung dalam Federasi Serikat Buruh Indonesia (FSBI) berunjuk rasa di Alun-alun Serang, Banten, Kamis (28/10/2021).
26/11/2021, 17.16 WIB

Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (Baleg DPR) akan mengadakan rapat kerja (raker) dengan pemerintah pada 6 Desember 2021 untuk membahas revisi Undang-Undang (UU) nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Wakil Ketua Baleg Willy Aditya mengatakan pokok bahasan dalam rapat tersebut adalah untuk mencermati keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Seperti diketahui, MK menyebut UU Cipta Kerja cacat formil karena tidak sesuai dengan tata cara pembentukan undang-undang.

Willy mengatakan rapat kemungkinan akan disusul dengan pembentukan tim kerja sama. DPR dan pemerintah juga akan membahas soal kebijakan turunan berupa peraturan pelaksana (PP) yang tidak boleh dirilis seperti diamanatkan oleh MK. Terkait mekanisme revisi UU Cipta Kerja, nantinya akan dikaji oleh DPR bersama dengan pemerintah dalam rapat berikutnya yang nantinya akan diputuskan oleh pimpinan DPR.

Nantinya dalam pembahasan mekanisme revisi UU Cipta Kerja akan mengundang publik termasuk serikat buruh untuk meminta saran dan masukan. Salah satunya adalah terkait Upah Minimun Kabupaten/Kota (UMK) dan Upah Minimum Provinsi (UMP) yang selama ini menjadi sorotan dalam UU Cipta Kerja.

"Kita diberikan waktu 2 tahun untuk melakukan perbaikan-perbaikan. Bisa melalui fungsi pengawasan dan lain sebagainya," ujar Willy kepada wartawan di Kompleks Parlemen pada Jumat (26/11).

Willy menyebut omnibus law UU Cipta Kerja adalah milestone. Hal ini lantaran UU Cipta Kerja disusun karena Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak cukup untuk menjalankan program agenda pembangunan sehingga membutuhkan konstruksi yang lebih besar untuk masuknya investasi. Lebih lanjut Willy mengatakan UU Cipta Kerja memiliki pengaruh dalam keterbukaan lapangan pekerjaan yang luas.

Dalam amar putusannya, Majelis Hakim MK mengacu pada UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Secara garis besar, prosedur pembentukan UU mencakup lima tahapan; pengajuan rancangan, pembahasan bersama DPR dan pemerintah, persetujuan bersama, pengesahan, dan pengundangan.

MK memerintahkan kepada para pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 tahun sejak putusan tersebut diucapkan oleh MK. Apabila dalam tenggang waktu tersebut para pembentuk undang-undang tidak melakukan perbaikan, UU Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen.

Willy juga mengaku bahwa dalam menyusun omnibus law UU Cipta Kerja bukanlah hal mudah karena perlu melakukan sinkronisasi dari sejumlah UU menjadi satu payung hukum.

"Satu hal yang kemudian kita harus banyak belajarlah ya dari putusan ini untuk kemudian kita lakukan perbaikan toh kami optomis ini tunes-nya adalah tune yang positif," pungkas Willy.

Reporter: Nuhansa Mikrefin