Ombudsman Sebut Ada Potensi Maladministrasi Tata Kelola Pupuk Subsidi

ANTARA FOTO/Arnas Padda/yu/foc.
Petani menyiapkan pupuk urea sebelum ditabur di area persawahan Galesong Utara, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, Minggu (6/6/2021).
30/11/2021, 18.31 WIB

Ombudsman RI menyebut lima potensi maladministrasi dalam masalah tata kelola pupuk bersubsidi.

Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Patika mengatakan pada April 2021 Ombudsman telah melakukan telaah awal terhadap masalah tata kelola pupuk bersubsidi. Ini antara lain terkait dengan sasaran penerima subsidi, akurasi data penerima subsidi, mekanisme distribusi, efektifitas penyaluran dan mekanisme pengawasan penyaluran subsidi.

"Pada Mei sampai Juni 2021 Ombudsman RI melakukan serangkaian pemeriksaan lapangan dengan meminta keterangan secara langsung kepada pihak produsen pupuk, pemerintah daerah, distributor dan pengecer, serta para penyuluh pertanian dan kelompok tani yang tersebar di beberapa daerah," ujar Yeka dalam konferensi pers virtual pada Senin (30/11).

Kemudian pada periode Agustus hingga September 2021 Ombudsman meminta keterangan terhadap kementerian dan instansi terkait. Mulai dari Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Dalam Negeri, PT Pupuk Indonesia, Bank Himbara, Dinas Pertanian Dinas Pedagangan, distributor, pengecer resmi, penyuluh dan petani.

Ombudsman juga meminta keterangan para ahli dalam bidang permasalahan pertanian dan melakukan diskusi publik terbuka yang melibatkan partisipasi masyarakat.

Berdasarkan hasil kajian yang dirilis pada hari ini Selasa (30/11), lima maladministrasi yang dicatat oleh Ombudsman pertama adalah penentuan kriteria dan syarat petani penerima pupuk bersubsidi saat ini tidak diturunkan dari rujukan Undang-Undang yang mengatur pupuk bersubsidi.

Undang-Undang yang dimaksud adalah UU Nomor 19 tahun 2013 tentang perlindungan dan pemberdayaan petani, UU Nomor 22 tahun 2019 tentang sistem budidaya pertanian berkelanjutan dan UU Nomor 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik.

Potensi maladministrasi yang kedua adalah terlalu lama proses pendataan penerima pupuk bersubsidi setiap tahunnya yang berujung pada ketidakakuratan data. Hal ini kemudian berdampak pada buruknya perencanaan penyaluran pupuk bersubsidi.

Ketiga adalah terbatasnya akses bagi petani untuk memperoleh pupuk bersubsidi. Kemudian adanya permasalahan transparansi dalam penunjukkan distributor dan pengecer resmi.

Keempat mekanisme penyaluran pupuk bersubsidi disebut belum selaras dengan asas penyelenggaraan pelayanan publik. Terakhir adalah belum efektifnya mekanisme pengawasan pupuk bersubsidi. Hal ini kemudian menyebabkan penyelewengan penyaluran pupuk bersubsidi belum tertangani secara efektif.

Reporter: Nuhansa Mikrefin