Ombudsman Minta Pemerintah Bentuk Tim Pengawas Pupuk Bersubsidi

ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/rwa.
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (kiri) didampingi Direktur Utama PT Pupuk Sriwidjaja (Pusri) Tri Wahyudi (kanan) meninjau gudang penyimpanan pupuk milik PT Pupuk Sriwidjaja (Pusri) Palembang, Sumatera Selatan, Jumat (28/5/2021). Dalam kunjungannya tersebut, Mentan menyatakan stok pupuk urea bersubsidi cukup untuk memenuhi kebutuhan musim tanam kedua (Juli-Desember).
30/11/2021, 22.31 WIB

Ombudsman RI menyoroti beberapa isu yang perlu diperbaiki dalam tata kelola pupuk bersubsidi. Apalagi masalah ini juga menjadi sorotan Presiden Joko Widodo.

Ombudsman juga menyarankan agar dibentuk Tim Pengawas Pupuk Bersubsidi yang memperkuat fungsi pengawasan dan penindakan. Tim terdiri dari Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Dalam Negeri, Polri, dan Kejaksaan Agung.

Bukan tanpa sebab, program pupuk bersubsidi selama ini dinilai oleh Presiden Joko Widodo tidak memberikan hasil dan perlu dievaluasi. Hal ini lantaran sejak tahun 2015 pemerintah telah menggelontorkan dana dari APBN hingga Rp 24 triliun untuk pupuk bersubsidi.

Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Patika dalam paparannya mengatakan sejumlah isu yang perlu mendapat perhatian dalam perbaikan tata kelola pupuk bersubsidi. Salah satunya adalah mengenai kriteria petani yang menerima pupuk bersubsidi.

Dia mengatakan, rata-rata petani hanya mendapatkan alokasi pupuk bersubsidi 38% dari anggaran yang disediakan.  Hal ini lantaran jumlah komoditas dinilai terlalu banyak yakni 69 komoditas, pembatasan lahan yang kurang dari 2 hektar dan penggunaan jenis pupuk bersubsidi yang lebih beragam.

Selain itu, pemberian pupuk bersubsidi juga tidak memberi jaminan bagi petani dapat memenuhi kebutuhannya dalam menanam tanaman.  Hal ini kemudian berdampak pada tidak terlihatnya manfaat pemberiaan pupuk bersubsidi terhadap peningkatan produksi komoditas pertanian.

"Jadi, dengan kriteria tersebut, pemberian pupuk bersubsidi selama ini bukan merupakan instrumen peningkatan produksi pertanian," Ujar Yeka dalam paparannya secara virtual pada Selasa (30/11).

Atas dasar tersebut Ombudsman memberikan saran kepada Kementan agar alokasi pupuk bersubsidi diberikan 100% kepada petani tanaman pangan dan hortikultura dengan luas lahan garapan di bawah 0,1 hektar. Kedua agar alokasi 100% hanya diberikan kepada petani dengan luas lahan garapan di bawah 0,5 hektar untuk tanaman padi dan jagung.

Terakhir adalah agar alokasi pupuk bersubsidi diberikan kepada petani dengan luas lahan garapan dibawah 1 hektar dengan komoditas strategis dan rasio realisasi dengan kebutuhan pupuk minimal 60%.

Ombudsman juga meminta Kementan memperbaiki akurasi penerima pupuk bersubsidi. Pendataan yang dilakukan saat ini disebut lama dan rumit sehingga berujung pada ketidakakuratan sasaran.

Beberapa hal yang menjadi penyebab  data tak akurat antara lain karena tidak semua petani tergabung sebagai anggota kelompok tani. Kemudian tidak semua anggota Kelompok Tani terdaftar dalam sistem elektronik Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok alias (e-RDKK). Lalu tidak semua petani yang terdaftar dalam e-RDKK mendapatkan pupuk bersubsidi.

Selain membentuk tim pengawas, Kementan juga perlu memperluas kewajiban distributor untuk memiliki pengecer setiap desa melalui kerja sama dengan Bumdes dan koperasi.

Kementan juga perlu melakukan publikasi informasi prosedur, mekanisme dan persyaratan rekrutmen distributor dan pengecer yang dapat diakses oleh publik. Selain itu mereka juga harus menyempurnakan skema penunjukkan pengecer khususnya pada persyaratan yang berkaitan dengan penguasaan sarana pendukung dan kepemilikan modal. 

Sebelumnya Presiden Joko Widodo geram lantaran subsidi pupuk yang puluhan tahun digelontorkan dari anggaran negara dianggapnya sia-sia. Kemarahan Presiden ini lantaran program tersebut hanya menjadi rutinitas tapi tak berdampak kepada produksi pertanian nasional.

"Kita beri pupuk, 'kembaliannya' ke kita apa? Apakah produksi melompat naik? Rp 33 triliun (subsidi), saya tanya 'kembaliannya' apa?" kata Jokowi dalam Rakernas Pembangunan Pertanian Tahun 2021 pada 11 Januari lalu.

Reporter: Nuhansa Mikrefin