Biaya Logistik di Indonesia Masih Paling Mahal di ASEAN

Katadata
Penulis: Doddy Rosadi - Tim Publikasi Katadata
1/12/2021, 11.22 WIB

Jakarta- Indonesia saat ini sudah berada dijalur pemulihan ekonomi. Walaupun sempat mengalami kontraksi ekonomi sebesar 2,1 persen pada 2020, namun saat ini Indonesia telah berhasil membukukan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) sebesar Rp 15.434.2 triliun atau US$ 1,059.6 miliar.

Dari jumlah PDB tersebut, kebutuhan konsumsi rumah tangga merupakan kontributor utama, yang dipengaruhi oleh sektor perdagangan elektronik (e-commerce), yang berhasil membukukan nilai transaksi sebesar Rp 266,3 triliun atau sekitar US$ 18 miliar.

Menurut prediksi laporan eConomy SEA 2020 besutan Google, Temasek dan Bain & Co, ekonomi digital Indonesia akan melonjak secara signifikan dari US$ 44 miliar pada 2020 menjadi US$ 124 milliar pada 2024. Hal ini akan membuat Indonesia mendominasi pasar ekonomi digital sebesar 40 persen dan menjadi yang terbesar di Asia Tenggara.

Survey tahunan yang digelar oleh PricewaterhouseCoppers (PWC) di 2020 mengenai preferensi pelanggan menemukan kenaikan yang signifikan pada transaksi daring (online) yang dilakukan melalui gawai (smartphone) sebesar 45 persen dan melalui laptop/computer sebesar 41 persen.

Hanya saja, salah satu permasalahan yang timbul ditengah melejitnya era e-commerce saat ini adalah besaran ongkos pengiriman. Para pelanggan kerap mengeluhkan besarnya biaya pengiriman saat melakukan transaksi daring tersebut.

Menanggapi hal tersebut, Asisten Deputi Bidang Industri Pendukung Infrastruktur pada Kemenko Kemaritiman dan Investasi, Yohannes Yudi Prabangkara mengakui bahwa saat ini Indonesia masih mempunyai PR besar untuk bisa menurunkan biaya logistik agar semakin terjangkau.

Yudi lantas mengutip survey yang dilakukan Bank Dunia pada 2018 mengenai performa logistik, yang menempatkan Indonesia di urutan ke 46, dari 160 negara, dengan skor 3.15, dengan 5 sebagai skor tertinggi. Biaya logistik tercatat sebagai yang tertinggi di ASEAN, mendekati 24 persen dari PDB.

“Biaya kirim komoditas dari Pulau Seram ke Surabaya sebesar Rp 60 juta per kontainer. Sementara, ongkos kirim dari Surabaya ke Cina hanya Rp 30 juta per kontainer. Ini butuh perhatian khusus,” ujar Yudi.

Pernyataan ini dibuatnya saat memberikan catatan pembuka pada webinar berjudul “Percepatan Digitalisasi dari Sabang Sampai Merauke”, pada Selasa (30/11/2021), yang merupakan bagian dari rangkaian acara Katadata Regional Summit 2021, yang berlangsung pada Senin (29/11/2021) dan Selasa (30/11/2021).

Oleh karena itu, Yudi menambahkan pemerintah tengah melakukan sejumlah rencana aksi untuk memperbaiki kondisi. Ada sejumlah sektor yang tengah dibidik untuk dibenahi, diantaranya adalah, kepabeanan, kondisi infrastruktur, sistem pelacakan pengiriman barang, kemudahan pengiriman barang ke luar negeri dan tata kelola logistik.

Dari sisi hukum, Yudi berujar bahwa dua buah aturan turunan dari UU Cipta Kerja, yaitu PP No.41/2021 tentang Penyelenggaraan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dan PP No.10/2021 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Dalam Rangka Mendukung Kemudahan Berusaha dan Layanan Daerah telah dikeluarkan guna mengawal penegakan aturan yang diharapkan berujung pada efisiensi kerja dan biaya.

“Dari sisi penguatan infrastruktur, pemerintah akan terus berusaha melengkapi berbagai kebutuhan infrastruktur yang diperlukan guna mendukung ekosistem logistik nasional,” ujarnya.

Pemerintah, lanjut Yudi, hingga saat ini telah berhasil membangun, sebagian masih dalam taraf pembangunan, 54 ruas jalan tol, 13 pelabuhan, 8 bandara dan 15 jalur rel kereta, 37 jembatan udara di Papua.

Dalam proyek ambisius tol laut, 32 trayek telah beroperasi dan melibatkan 106 pelabuhan, yang terdiri dari 9 pelabuhan pangkal, 97 pelabuhan singgah.

Staf ahli bidang logistik, intermodal dan keselamatan pada Kementerian Perhubungan, Cris Kuntadi, yang juga hadir dalam diskusi, menambahkan bahwa pada prakteknya, jalur tol laut sering difungsikan dengan mengabaikan sisi keekonomian.

“Kami pernah mengarahkan kapal untuk mengangkut beras dari Merauke menuju daerah- daerah terpencil di Papua. Kepentingan pendistribusian barang jadi perhatian utama,” ujarnya.

Cris melihat bahwa salah satu masalah terbesar yang menghalangi turunnya ongkos logistik adalah ketimpangan supply dan demand antara Indonesia bagian barat dan timur. Ia melanjutkan, sering kapal berangkat dari Surabaya, yang menjadi pusat distribusi, ke arah Indonesia bagian timur dalam kondisi penuh, tapi pulangnya mereka tidak mengangkut apa-apa, yang tentu saja mengakibatkan bengkaknya ongkos kirim.

Kondisi ini juga diamini oleh Trismawan Sanjaya, Wakil Ketua Umum DPP Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia, salah satu narasumber diskusi. Hanya saja, Trismawan menemukan bahwa hal itu dialami khususnya pada pengiriman antar perusahaan, atau Business to Business, sementara pada sektor e-commerce, dimana skema yang terjadi biasanya antara penjual dan pembeli, atau pembeli dan perusahaan, biasanya volume barang tidak menjadi masalah karena pengiriman dilakukan secara kumulatif, sehingga dapat menekan biaya pengiriman.

“Pengiriman dalam volume besar yang dilakukan oleh perusahaan, biasanya tidak lantas diimbangi oleh keterisian saat moda pengantar kembali. Sehingga unsur ini dimasukan dalam komponen biaya dan menyebabkan ongkos pengiriman yang tinggi,” ujarnya.

Untuk menyiasati hal ini, Budi Handoko, pendiri Shipper, perusahaan aggregator logistik dan pergudangan, mengatakan bahwa perusahaannya saat ini menyiapkan fasilitas Gudang di berbagai daerah, salah satunya untuk memastikan bahwa moda transportasi tidak kembali dalam keadaan kosong.

Saat ini, gudang milik Shipper berada di 35 kota dengan divisi pengantar yang mampu mencapai lokasi-lokasi terpencil.

“Kami menghimpun berbagai barang didalam gudang dan mengklasifikasikan produk, salah satunya berdasarkan asal pengiriman dan tujuan. Lalu sistem nantinya yang akan menyelaraskan barang yang bisa dikirimkan melalui moda transportasi yang baru saja mengantar barang supaya ongkos kirim bisa ditekan secara maksimal,” ujar Budi.

Budi mengakui bahwa penggunaan teknologi digital yang diterapkan pada sistem yang dipakai perusahaanya dapat memberikan panduan lengkap mengenai kondisi dan jumlah barang yang ada di gudang-gudangnya.

“Semoga pemerintah dapat juga menciptakan sistem yang sama dengan skala yang lebih besar, sehingga dapat mendukung niatan untuk menekan biaya logistik yang masih tinggi,” tambahnya.

Untuk memberikan gambaran lebih jelas mengenai kondisi logistik saat ini, Shipper juga bekerjasama dengan Katadata Insight Center meluncurkan laporan komprehensif berjudul “Game Changer, How Digitalization Support the Growth of Logistics in Indonesia”, yang diharapkan dapat membantu pihak-pihak terkait untuk semakin memahami peta situasi terkini, tantangan yang dihadapi dan solusi yang dapat ditawarkan.

Stevanny Limuria, Wakil Kepala Riset dan Analisis Katadata Insight Center, mengatakan dari sejumlah survey dan studi yang telah dilakukan terkait upaya pembenahan kondisi logistik di Indonesia, sinergi menjadi kata kunci.


“Mengingat begitu banyak pihak lintas sektoral yang terlibat, maka sinergi menjadi kata kunci untuk membenahi kondisi logistik saat ini,” ujarnya.