PNBP Perikanan Tangkap Rp 694 Miliar, Tak Sampai 1% Nilai Produksinya

ANTARA FOTO / Irwansyah Putra/hp.
Pekerja membongkar muat ikan tuna kualitas ekspor hasil tangkapan nelayan di tempat pendaratan ikan Ulee Lheu, Banda Aceh, Aceh, Minggu (21/11/2021).
15/12/2021, 18.15 WIB

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat bahwa Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) untuk subsektor perikanan tangkap pada 2021 sudah mencapai Rp 694,53 miliar. Jumlah tersebut lebih besar dibandingkan Rp 643,60 miliar yang disetor pada tahun lalu.

Kendati mengalami peningkatan, setoran PNBP tersebut masih sangat kecil dibandingkan total nilai produksi perikanan secara keseluruhan.

Berdasarkan catatan KKP, nilai produksi perikanan tangkap tahun 2020 berada di kisaran Rp 224 triliun. Jumlah tersebut, naik tipis dibandingkan tahun 2019 yakni Rp 219 triliun dan Rp 210 triliun pada tahun 2018.

Dengan membandingkan nilai produksi pada tahun 2020 saja, pencapaian PNBP perikanan tangkap pada tahun 2021 hanya mencapai 0,3% dibandingkan nilai produksi perikanan.

 Berdasarkan data lima tahun terakhir, perbandingan antara PNBP sektor perikanan tangkap dibandingkan nilai produksi perikanan selalu di bawah 0,5%.  Setoran PNBP sektor perikanan juga tidak pernah menyentuh angka Rp 1 triliun.

Padahal, potensi perikanan Indonesia sangat besar.  Berdasarkan catatan KKP,  produksi perikanan tangkap pada tahun 2021 saja diperkirakan bisa mencapai 8 juta ton.

Dalam beberapa kesempatan, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengakui PNBP perikanan masih sangat kecil.

"Sebelumnya capaian PNBP KKP sebesar Rp600 miliar, bila dibandingkan dengan nilai produksi perikanan ini tidak ada apa-apanya. Maka perlu diubah menjadi pasca produksi agar pungutannya lebih riil, apa yang diambil dari laut itu yang dibayarkan PNBP-nya," tutur Trenggono, Maret lalu, seperti dikutip dari pers KKP.

 Beberapa penyebab rendahnya setoran PNBP di sektor di antaranya pencatatan hasil tangkapan nelayan tanpa membedakan dari jenis kapal yang digunakan.

Juga, masih digunakannya Permendag Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Penetapan HPI (harga patokan ikan) untuk Penghitungan Pungutan Hasil Perikanan. 

Permendag belum diperbaharui padahal harga patokan ikan sudah jauh berbeda dibandingkan 10 tahun lalu.

KKP telah menargetkan besaran PNBP dari sektor kelautan dan perikanan hingga tahun 2024 mencapai Rp 12 triliun.

Sebagai upaya dari peningkatan tersebut, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 85 Tahun 2021 Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Nantinya, perhitungan PNBP akan menggunakan sistem pasca produksi berdasarkan jumlah tangkapan yang didaratkan.

Perhitungan PNBP juga akan berdasarkan kontrak (gabungan pra produksi dan pasca produksi), pemasukan negara dapat diproyeksikan berdasarkan nilai alokasi sumber daya ikan.

 Sementara itu, terkait penerimaan PNBP tahun 2021, Plt. Sekretaris Ditjen Perikanan Tangkap Trian Yunanda mengatakan kenaikan PNBP seiring dengan banyaknya permohonan izin perikanan tangkap yang masuk melalui sistem informasi izin layanan cepat (SILAT).

Jumlah dokumen perizinan yang diterbitkan 2.248 surat izin usaha perikanan (SIUP), 4.908 surat izin penangkapan ikan (SIPI) dan 573 surat izin kapal pengangkut ikan sejumlah (SIKPI).

Yunanda mengatakan kenaikan PNBP tersebut menunjukan usaha perikanan tangkap terus bergeliat meski dalam situasi pandemi.

Adanya perubahan regulasi dan kenaikan pungutan hasil perikanan juga tidak membuat pelaku usaha perikanan tangkap lesu.

“Awalnya memang ada penolakan terhadap kenaikan pungutan hasil perikanan. Meski demikian, KKP gencar melakukan sosialisasi dan konsultasi publik. Ini merupakan bukti keterbukaan KKP yang mau menerima masukan untuk merevisi beberapa peraturan dibantaranya harga patokan ikan dan produktivitas kapal penangkap ikan,” tutur Yunanda.


Reporter: Cahya Puteri Abdi Rabbi