MK Kabulkan Upaya Kasasi Terhadap Putusan PKPU dan Kepailitan

Instagram/Mahkamah Konstitusi
Majelis Hakim dalam putusan tertulis menyatakan pasal 235 ayat (1) dan pasal 293 ayat (1) UU PKPU bertentangan dengan UUD 1945.
Penulis: Nuhansa Mikrefin
Editor: Agustiyanti
16/12/2021, 09.34 WIB

Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materil terhadap dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Dengan putusan ini, PKPU dan kepalitan yang semula tidak dimungkinkan upaya hukum dapat dilakukan kasasi atau peninjauan kembali. 

 
 

Majelis Hakim dalam putusan tertulis menyatakan pasal 235 ayat (1) dan pasal 293 ayat (1) UU PKPU bertentangan dengan UUD 1945. Kedua pasal tersebut dianggap tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai 'diperbolehkan upaya hukum kasasi terhadap putusan PKPU yang diajukan oleh kreditor dan ditolaknya tawaran perdamaian dari debitor'.

Pasal 235 ayat 1 berbunyi "Terhadap putusan penundaan kewajiban pembayaran utang tidak dapat diajukan upaya hukum apapun". Sedangkan pasal 293 ayat 1 berbunyi "terhadap putusan Pengadilan berdasarkan ketentuan dalam Bab III ini tidak terbuka upaya hukum, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini". 

"Menjadi sangat penting untuk memberikan penegasan bahwa sepanjang permohonan PKPU masih dapat diajukan oleh kreditor perlu dilakukan kontrol atas itikad baik dari kreditor agar benar benar tidak mencederai “niat baik” tersebut," ujar Majelis Hakim seperti tertulis dalam putusan.

Dengan demikian, menurut Majelis Hakim, eksistensi debitor yang menjadi bagian dari pelaku usaha dan berperan dalam menjaga stabilitas ekonomi tetap terjaga kelangsungan usahanya dan justru tidak disalahgunakan. 

Permohonan uji materril ini disampaikan oleh PT Sarana Yeoman Sembada. Perusahaan tersebut meminta Pasal 235 ayat (1), Pasal 293 ayat (1), dan Pasal 295 ayat (1) untuk diuji karena mereka mengalami kerugian konstitusional atas diberlakukannya aturan tersebut.

Dalam dalilnya. mereka menyebut akar masalah sebenarnya dimulai dari keberadaan pasal 222 ayat (1) dan ayat (3) yang memberikan kesempatan kepada pihak kreditor untuk mengajukan permohonan PKPU. Keberadaan pasal 222 ayat (1) dan ayat (3) disebut memungkinkan adanya modus mempailitkan perusahaan atau badan usaha.

Pemohon juga menyebut Pasal 235 ayat (1), Pasal 293 ayat (1) dan Pasal 295 ayat (1) tidak mencerminkan asas keadilan dan bertentangan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Tiga pasal UU PKPU ini disebut oleh pemohon menimbulkan kerugian secara konstitusional karena tidak tertutup kemungkinan celah-celah tersebut akan dimanfaatkan untuk merekayasa suatu persaingan bisnis yang tidak sehat dengan tujuan menjatuhkan dan menghentikan bisnis melalui Peradilan Niaga. 

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) sebelumnya mendesak pemerintah segera menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) moratorium Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan kepailitan. Pada rapat kerja nasional Apindo akhir Agustus, mereka sudah melayangkan permintaan serupa secara langsung kepada Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.

Apindo menyoroti sejumlah persoalan dalam kasus PKPU dan kepailitan yang dianggap memberatkan pengusaha. Di antaranya syarat permohonan PKPU dan kepailitan yang terlalu mudah, termasuk tidak adanya batasan nilai tagihan yang diajukan, tidak adanya aturan dan jeda batas waktu pengajuan pada kasus yang sama sehingga permohonan bisa dilakukan berkali-kali, serta tidak adanya tes insolvensi dalam penetapan kepailitan.

Persoalan lain yang disorot adalah tidak berlakunya perjanjian bisnis antara kreditur dan debitur jika terjadi sengketa serta sistem pemungutan suara yang tidak adil dalam menentukan kepailitan. "Pengajuan bisa berulang-ulang. Perusahaan yang sehat pun bisa "dikerjain" dan benar-benar jadi bangkrut. Kreditur dan vendor serta customer mereka jadi takut karena mereka dianggap bermasalah," kata Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani.

Reporter: Nuhansa Mikrefin