BPOM Proses Izin Vaksin Sinovac, Pfizer, AstraZeneca untuk Booster

ANTARA FOTO/Fauzan/rwa.
Ilustrasi. Pemerintah akan memberikan vaksin booster berbasis risiko. Setelah tenaga kesehatan, vaksin booster akan diberikan terlebih dahulu kepada lansia.
Penulis: Agustiyanti
20/12/2021, 20.08 WIB

Badan Pengawas Makanan dan Obat (BPOM) tengah mengkaji kelayakan vaksin Covid-19 produksi Pfizer, Sinovac, dan AstraZeneca sebagai dosis penguat atau boosterMenteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, pemerintah juga akan mempersiapkan beberapa opsi vaksin lainnya, termasuk produksi dalam negeri. 

“Akan dilakukan revisi Perpres dan Permenkes. Pemerintah akan mengupayakan ini secepatnya. Beberapa produsen, antara lain Pfizer, Sinovac, AstraZeneca sedang melakukan kajian dan berproses di BPOM,” ujar Airlangga dalam Konferensi Pers PPKM, Senin (20/12).

Airlangga mengatakan, pihaknya juga akan menyiapkan beberapa opsi lainnya untuk vaksin booster sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo. Beberapa di antaranya, yakni vaksin merah putih yang dikembangkan BUMN dengan Baylor Collage, vaksin kerja sama Universitas Airlangga dengan Biotis Pharmaceutical, serta Kalbe Farma dengan Genexine hingga vaksin Nusantara.

“Ini akan segera dimatangkan, disiapkan regulasinya termasuk regulasi terkait harga masing-masing vaksin tersebut,” ujarnya.

Pemerintah akan mulai melaksanakan vaksinasi Covid-19 dosis ketiga atau booster mulai Januari 2022. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, harga dosis tambahan skema berbayar akan ditentukan oleh pemerintah. Nantinya, harga eceran tertinggi dan pelayanan vaksin booster berbayar akan diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan. "Harga batas atas dari produk dan layanan booster non-APBN tetap ditentukan oleh pemerintah," kata Budi pada pekan lalu. 

Vaksin booster akan terbagi menjadi dua skema, yaitu gratis dan berbayar. Vaksin gratis akan dibiayai dengan APBN untuk 21,5 juta lansia dan 61,6 juta Penerima Bantuan Iuran (PBI) non-lansia. Sementara, vaksin berbayar dialokasikan kepada 125,2 juta orang.

Kebutuhan vaksin booster yang berasal dari APBN akan digunakan untuk lansia sebanyak 24 juta dosis, sedangkan kebutuhan untuk PBI non-lansia sebanyak 68,4 juta dosis. Dengan demikian, total kebutuhan vaksin untuk dosis tambahan yang dibiayai negara sebanyak 92,4 juta dosis dan  total kebutuhan vaksin booster berbayar mencapai 139 juta dosis. "Ada dosis cadangan 10%," ujar Budi.

Rencananya, vaksinasi booster dengan mekanisme APBN bisa dilakukan di puskesmas, sedangkan vaksinasi berbayar bisa dilakukan di seluruh fasilitas kesehatan, kecuali puskesmas dan kantor Kementerian Kesehatan.  "Klinik, pihak swasta, rumah sakit, bisa berikan vaksin booster," ujar dia.

Budi mengatakan ada sejumlah syarat yang dilalui sebelum vaksinasi booster dimulai. Seluruh vaksin booster harus mendapatkan izin dari Organisasi Kesehatan Dunia dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) serta melalui kajian Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI). Meski demikian, saat ini belum ada vaksin yang mendapatkan izin suntikan booster dari BPOM maupun rekomendasi dari ITAGI.

"Proses perizinan di WHO, BPOM, ITAGI masih bergerak karena penelitian booster masih berjalan," ujar dia.

Selanjutnya, pemberian booster akan dilakukan dengan basis risiko. Untuk itu, pemerintah akan memprioritaskan pemberian dosis tambahan kepada lansia terlebih dulu.