Petinggi Pfizer Prediksi Covid-19 Baru Jadi Endemi Awal 2024

Pexels
Ilutrasi virus Covid-19
22/12/2021, 15.34 WIB

Dunia masih dilanda pandemi Covid-19 hingga akhir 2022 ini. Meski demikian, petinggi raksasa farmasi Pfizer memprediksi corona baru akan menjadi penyakit endemi pada awal 2024 mendatang.

Endemi berarti penularan Covid-19 akan mengalami transisi dari darurat global menjadi wabah regional di tiap negara. Status ini akan tercapai jika mayoritas populasi memiliki kekebalan yang cukup baik dari vaksin maupun infeksi.

“Kami percaya transisi ke endemi berpotensi terjadi tahun 2024,” kata Presiden Global Pfizer Vaccines Nanette Cocero, Jumat (17/12) dikutip dari CNBC.

Meski demikian status ini juga masih tergantung pola perubahan varian Covid-19 hingga distribusi vaksin saat ini. “Munculnya varian baru juga dapat berdampak pada bagaimana pandemi terus berlanjut,” kata Kepala Ilmuwan Pfizer Mikael Dolsten.

Pernyataan para petinggi Pfizer ini disampaikan ketika Amerika Serikat masih memerangi lonjakan kasus varian Delta. Sementara Omicron juga tengah menyebar dengan cepat.

Rata-rata pasien di rumah sakit meningkat 4% selama sepekan terakhir. Ilmuwan senior di Gedung Putih, Dr Antoni Fauci mengatakan Negeri Abang Sam menghadapi masa krusial dalam penanganan pandemi lantaran keberadaan Delta dan Omicron secara bersamaan.

“Orang-orang yang tidak divaksinasi berisiko tinggi menjadi serius termasuk menjalani rawat inap,” kata Fauci.

Survei Nature Research menunjukkan, terdapat sejumlah faktor yang mendorong virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 menjadi endemi. Salah satunya lantaran virus tersebut bisa lolos dari sistem imun manusia, yang dinyatakan oleh 71% responden.

Sedangkan epidemiolog sejak tiga bulan lalu menjelaskan dua syarat agar Indonesia masuk masa endemi. Pertama adalah membenahi penanganan Covid-19 di dalam negeri dengan penelusuran dan tes lebih luas.

Kedua, mencegah penyebaran varian baru dengan menjaga ketat pintu masuk kedatangan internasional. Karantina bagi pendatang dari luar negeri perlu dilakukan selama 10-14 hari.

Selain itu pemerintah diminta tidak melakukan relaksasi aktivitas secara cepat. "Kalau kebelet relaksasi ekonomi, kita akan rasakan pengalaman buruk seperti yang dialami kemarin," ujar Epidemiolog Universitas Airlangga Windhu Purnomo kepada Katadata.co.id, Kamis (30/9).